Pada awalnya berjalan sendirian adalah pilihan yang tepat.
Menghindari segala macam kontak yang bisa menjerumuskan pada hal-hal yang tidak
semestinya kamu alami adalah rencana yang begitu sempurna. Kamu hanya perlu
bekerja seperlumu, berbicara jika diminta, dan tidak perlu membahas yang tidak
penting dengan orang lain. Lakukan saja hidupmu seolah tak ada yang lebih
penting dibanding dengan bertahan hidup dengan nyaman.
Dari pola pikir seperti ini kamu akan mendapati sikap apatis
dan sandiwara penuh dialog dramatis. Awalnya kamu akan merasa tidak peduli.
Tapi memang begitu. Kamu tak akan peduli pada apapun yang tidak ada sangkut
pautnya dengan hidupmu. Kamu akan kehilangan rasa empati. Ketika orang lain
dirundung masalah, tak sedikitpun kamu merasakan apa yang mereka rasakan. Kamu
tidak akan merasakan ikatan. Hidupmu bebas seperti seorang atheis yang tidak
memiliki hubungan dengan ketuhanan.
Tapi pernahkah kamu mendengar seorang atheis yang memutuskan
memeluk sebuah agama? Sekali? Dua kali? Seberapa sering? Ketika seseorang yang
bahkan memutuskan tidak akan memiliki ikatan dengan tuhan mengikatkan dirinya
sendiri itu artinya kebutuhan jiwa tidak mungkin dihindari. Akan selalu ada
titik ketika kamu membutuhkan kehadiran orang lain untuk membantu kesehatan
jiwamu. Akan selalu ada waktu ketika tangis diam-diammu didengar bagian tubuhmu
yang tidak ada sangkut pautnya dengan kesehatan jasmani. Akan ada waktu untuk
kamu sadari bahwa ketukan untuk bersosialisasi tidak bisa dibiarkan lebih lama
lagi.
Pada akhirnya momen dramatis kamu yang apatis akan merengkuh
sesuatu yang lebih manis. Mencoba untuk membuka diri bukanlah sebuah kesalahan.
Menjalin ikatan dengan orang lain memang akan memaksamu untuk mengalami hal-hal
yang mungkin lebih suka kamu hindari. Tapi itu hanya segelintir rasa pahit. Ada
setumpuk perasaan lain yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan harus hidup
seorang diri.
Rasa peduli itu ternyata lebih nyaman dibanding harus
berdiam diri menghindari masalah. Ikatan perasaan yang terjalin ternyata sangat
menggetarkan dibanding harus berpura-pura melempar senyum dengan sayang.
Memutuskan untuk memerhatikan dan diperhatikan itu ternyata lebih menenangkan
dibandingkan hanya berjalan menyamping tanpa peduli nyawa orang lain mulai
meregang.
Betapa indahnya mencintai dan dicintai.
Tapi bukan berarti semua akan semanis yang orang lain
bicarakan. Hal yang kamu hindari pada akhirnya akan terjadi juga. Rasa sakit
tidak bisa dihindari. Itu semua kodrat Yang Maha Mengatur untuk membuat kamu
paham arti hidup sesungguhnya. Bertahan dan dipertahankan. Hukum rimba memang
benar: siapa yang kuat dia yang bertahan. Maka, kamu harus menguatkan diri
untuk guncangan hidup yang lebih dahsyat ketika kamu ingin menikmati hal yang
lebih hebat.
Mari kita analogikan seperti ibu bersalin. Ketika seorang
ibu berada di antara hidup dan mati untuk melahirkan bayinya, tak sedikitpun
dia menyesal telah memilih hamil dan melahirkan. Rasa sakit yang tidak terperi
dia tahan hanya untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih murni. Saat dorongan
meneran terakhir ibu memecahkan tangisan bayi, sesungguhnya seorang ibu telah
melewati fase guncangan yang dahsyat untuk selanjutnya mendapatkan nikmat yang
lebih hebat.
Subscribe to:
Postingan (Atom)
anita agustina. Diberdayakan oleh Blogger.