"),

Blogger Template by Blogcrowds

.

Cerpen: Obsesi


Obsesi

Aku berharap
Bahwa harapku terpenuhi
Berharap meninggalkan satu sisi
Itu harap yang penuh emosi
Harap bukan doa yang diresapi
Harapku adalah obsesi…

Aku tak tahu apa yang aku harapkan atas semua ini. Aku hanya bertanya, untuk apa aku hidup bila mereka sama sekali tidak menghendakiku? Untuk apa Tuhan memberiku nafas hanya untuk kekotoran yang menyelimutiku. Mereka menghinaku, memandangku dengan jijik, menganggapku tak selayaknya diberi hidup. Kenapa Tuhan tak bertindak saat aku mengorek-orek tempat sampah untuk mencari makanan sisa? Bukankah Dia yang Maha Segala bisa memberikan apapun, bahkan hanya sepotong roti tengik yang bisa kumakan tanpa mengais tempat sampah? Kenapa tak pernah Dia lakukan?
            Orang selalu bilang, Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu. Aku selalu memimpikan untuk meninggalkan dunia. Pergi ke tempat yang lebih layak kutinggali. Kenapa Tuhan tak mengabulkannya? Aku tak pernah mau bunuh diri, itu perbuatan tercela dan Tuhan tak akan terkesan akan hal itu. Aku selalu merasakan kelaparan yang teramat sangat menekan perutku. Memberontak memaksaku untuk mengisinya. Aku selalu berpikir, mungkin Tuhan akan memanggilku saat itu juga. Tapi ternyata, rasa perih yang mencabik perutku memaksaku untuk mengorek tempat sampah dan memakan segumpal nasi yang sudah tercampur dengan saus busuk. Sekali lagi hidupku berlanjut. Aku merasa Tuhan menginginkan aku hidup lebih lama. Hidup untuk sesuatu yang sudah direncanakannya? Mungkin rencana mencabut nyawaku saat aku keracunan makanan yang sudah bercampur dengan belatung.
            Namun aku selalu percaya –mungkin terpaksa percaya—bahwa Tuhan telah merencanakan keindahan dibalik kepahitan yang dialami hamba-Nya, begitulah yang aku dengar dari mendiang ayahku yang meninggalkanku dengan sejuta kepahitan hidup.
            TIIIIINNN
            “Woy!! Minggir dong! Gak tau apa orang mau parkir! Dasar gembel gak tahu diri, kerjaannya nyusahin orang aja!” seseorang meneriakiku dari dalam mobil mewahnya. Aku tak tahu mobil merk apa itu. Bukan tugasku untuk menghafal semua merk mobil mewah itu, aku tak pernah pantas –bahkan—hanya untuk mengetahui merknya.
            Seseorang berseragam datang menghampiriku dan membangunkanku yang sejak tadi terduduk di sebuah parkiran restoran. Dia tersenyum dan membimbingku menjauh dari mobil yang sacara tak sengaja aku halangi untuk parkir. “Maaf, Pak, bukannya saya mengusir, lebih baik Bapak berteduh di halte sana saja, ya! Ini untuk, Bapak.” Ucapnya seraya menyelipakan selembar uang ribuan ketanganku. Aku hendak menolak, aku bukan pengemis yang meminta belas kasihan orang lain, tapi dia sudah berlari meninggalkanku. Dengan perlahan aku berjalan menuju halte bus yang hanya dinaungi oleh dua orang pelajar perempuan berseragam putih abu-abu.
            Aku duduk diteras halte, menjulurkan kakiku, dan menyenderkan kepalaku pada bangku halte. Kedua remaja tadi bergidik melihatku dan duduk menjauh. Mungkin ngeri melihat penampilanku yang awut-awutan dan berbau busuk. Samar-samar aku mendengar mereka berbisik satu sama lain
 “…Cuma ngotorin tempat aja…”
            “…pengemis, baunya bikin jijik…”
            “…gak ada kerjaan lain apa? Ngemis doang kerjaannya..”
            “…bikin susah aja…”
            Aku tertegun, anak muda jaman sekarang mungkin sudah tidak memiliki tatakrama terhadap orang tua, tak pernah menghargai orang yang lebih tua darinya… Menghargai? Tentu saja aku tak akan pernah dihargai, aku kotor, gembel yang menyusahkan orang lain. Tapi aku bukan pengemis. Mereka salah menilaiku, aku bukan tukang minta-minta yang hanya meminta belas kasihan. Aku lebih memilih memakan nasi sisa dibanding harus mengemis meminta nasi hangat dengan lauk pauknya.
            Aku mengabaikan mereka dan kembali menikmati istirahatku. Memejamkan mataku dan mulai berandai-andai. Andai aku orang kaya, hidup mewah dengan segala kenikmatan duniawi, akankah aku sesombong mereka yang meludahiku saat aku memandang mereka, yang berjengit saat menatapku, atau yang berlari saat mencium bauku? Aku rasa tidak, aku jelas akan membantu para gelandangan sepertiku. Tapi itu hanya perandaianku saja. Andai aku menjadi orang kaya…
            Aku bangun dan mulai berjalan memerhatikan para pedagang asongan yang berteriak menjajakan dagangannya. Mentari mulai condong ke arah barat, mulai menggelapi bagian timur dunia. Kendaraan umum berlalu lalang saling berebut penumpang. Aku baru menyadari, hidupku sungguh tak pernah dalam ketenangan. Mungkin begini yang dirasakan para gelandangan lain. Sungguh menyedihkan. Tapi bagaimana rasanya mati?
            Andaikan aku sudah mati, tenangkah aku disana? Ya, aku pasti tenang sekaligus bahagia. Tuhan akan memberiku ganjaran atas kepahitan yang aku terima. Aku akan diberinya makanan yang enak-enak, hangat dan banyak! Bahkan aku akan mendapatkan minuman yang menyegarkan tenggorokanku. Aku bahkan akan tidur dikasur yang sangat nyaman dibanding kasur para orang kaya sombong itu. Ah. Aku benar-benar menantikan saat kematianku.
            Aku baru menyadari, keinginanku akan kematian sangatlah besar. Lebih besar daripada keinginan untuk mengisi sesuatu kepada perutku. Ini obsesi. Aku terobsesi untuk mati. Tapi aku tak berani mengambil tindakan. Tidak saat Tuhan masih mengutuk orang bunuh diri. Biarlah Tuhan mengatur segalanya. Mengatur tanggal kematianku yang cantik. Saat ini yang aku harus lakukan hanyalah beribadah. Agar Tuhan menyediakan tempat yang layak bagiku, lebih layak atas apa yang aku terima dari dunia yang busuk ini.
            Aku mengamati sekelilingku, bertanya-tanya dalam hati, berapa banyak orang yang terobsesi akan kematian juga? Berapa banyak orang yang muak akan hidup di dunia ini? Berapa banyak orang yang menganggap kematian lebih baik dari segalanya sama sepertiku? Mungkin ada banyak, dan mungkin salah satunya adalah orang-orang yang berdasi itu.
            “Mas, mau beli kue lapis?”
            Seseorang menarik ujung bajuku, aku berbalik dan mendapati gadis kecil yang sama lusuhnya denganku sambil membawa baki kue. Aku merogoh kantong celanaku. Masih ada uang seribu rupiah yang dijejalkan petugas keamanan tadi.
            “Seribu boleh?” tanyaku.
            “Boleh, Mas..” ucapnya manis. Kuulurkan uang seribu tadi dan mengamatinya membungkus dua kue lapis untukku. Sayang sekali gadis ini harus berjualan begini, bukannya bermain seperti kebanyakan anak seumurnya. Kenapa juga dia tidak sekolah? Ah, aku tahu. Masalah ekonomi pasti adalah penyebab utamanya.
            “Ini, Mas…” katanya seraya mengulurkan bungkusannya. Dia tersenyum lalu pergi. Aku menggigit kuenya. Enak. Beberapa orang memperhatikanku, mungkin heran –orang dekil, miskin, menyedihkan sepertiku kok bisa beli kue-- , tapi aku tak peduli. Toh, mereka juga tak pernah memperdulikan aku.
            Kembali aku menyusuri jalan. Melihat betapa megahnya kota ini. Memperhatikan kendaraan yang lalu lalang.  Aku berpikir, apakah Tuhan akan tahu bila aku berpura-pura tidak fokus menyeberang jalan dan menabrakkan diriku kepada bus yang lewat? Pasti Tuhan akan tahu.
            Aku kembali melangkahkan kaikiku. Melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi. Aku kembali berpikir, akankah Tuhan tau bila aku pura-pura terpeleset dari puncak gedung itu lalu mati? Lagi-lagi Tuhan pasti tahu. Apa yang tidak Tuhan ketahui? Dia selalu tahu. Bukankah dia yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar? Dia pun adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui. Dia pasti tahu segalanya. Ya…segalanya.
            Tiba-tiba aku merasa tenggorokanku gatal. Benar-benar gatal. Aku batuk untuk meredakan rasa gatalnya. Bukannya mendingan, rasa gatalku malah menggila dan aku terbatuk-batuk hebat.
            “Uhuk…uhuk…uhuk…”
            Rasanya ada sesuatu yang mendesak keluar dari tenggorokanku.  Aku batuk lebih keras lagi, setengah berharap sesuatu itu akan keluar.
            “Uhuk…uhuk…uhuk…”
            “Pak, bapak kenapa?” seseorang bertanya padaku. Aku melihatnya menggunakan kemeja biru panjang dan celana bahan hitam panjang. Pasti kerja di kantoran terkaku. “Sini, pak… duduk disini dulu” katanya seraya memapahku dan mendudukanku di trotoar jalan. Lalu dia berlari ke warung terdekat. Aku masih terbatuk-batuk. Aku usap-usap leherku untuk membuatnya reda.
            Orang tadi datang lagi dengan membawa sebotol air mineral. Dia membuka tutupnya dan menyodorkannya padaku. “Minum, pak! Biar batuknya reda..” katanya, ramah. Aku mengambilnya dan mulai meneguknya. Aku merasakan air itu melewati tenggorokanku. Dingin, menyejukkan, dan –ya, orang itu benar-- batukku mereda.
            “Enakan, pak?” tanyanya santun. Dia ikut duduk di trotoar bersamaku. Aku memperhatikannya sekilas dan mengangguk. Ternyata masih ada orang sebaik ini di Bumi. Ternyata masih ada orang berpangkat yang peduli terhadap sesamanya.
            Aku masih terbatuk-batuk kecil tapi tidak sehebat tadi. “Baru pulang kerja?” tanyaku.
            “Iya. Bapak tinggal dimana?” tanyanya
            “Saya? Saya tinggal disini. Di dunia yang diciptakan Allah” Jawabku. Dia tertegun sesaat. Mungkin heran, orang bertampang tolol sepertiku bisa bicara demikian. Lalu dia tersenyum.
            “Ya, dunia ini milik-Nya… Tak pantas kita berebut kejayaan disini seakan kita pemilik segalanya. Harta memang tak pernah menjamin…”
            “…Tapi harta dapat memberikan kehidupan” potongku.
            “Maksud bapak?”
            “Tidak ada seorang tolol pun di dunia ini yang menolak uang. Uang bermain saat ini. Kamu tak bisa hidup bila tak punya uang. Uang dapat membeli segalanya saat ini. Termasuk harga diri.” Jawabku panjang. Aku memperhatikannya, dia melihatku setengah tak percaya jawaban itu meluncur dari mulutku. Dia membuka mulut hendak memprotes.
            “Tidak--“
            “Jangan menyangkal! Banyak pelacur disini yang siap menjual kehormatanya. Menjual harga dirinya. Menjual segala kepercayaan yang orang tanam kepadanya. Menurutmu, untuk apa kamu bekerja sekarang? Jelas untuk uang bukan? Agar kamu bisa menyambung hidupmu, kan? Tak perlu menyangkalnya.”
            Aku melihat garis kelabu sekilas di matanya. Dia seperti kecewa sesaat atau mungin sakit hati. Dia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Matanya menerawang,aku yakin dia sedang berusaha mengakui bahwa ucapanku benar.
            “Ya, bapak benar” ucapnya santai. Aku meneguk lagi air minum yang diberikannya tadi.
            “Tapi tak semuanya seperti itu. Kamu berbeda. Harga dirimu tinggi, lebih tinggi daripada badut-badut berdasi itu. Kamu lebih berharga jauh lebih berharga daripada gedung-gedung pemakan tempat itu.” Kataku. Dia memperhatikaku lalu tersenyum. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Menyangkal bahwa dirinya berharga.
            “Siapa namamu?” tanyaku.
            “Sandi..” jawabnya.
            “Umurmu?” tanyaku lagi.
            “27, pak.” Jawabnya. Aku menerawang, saat aku berumur 27 apa yang aku lakukan? Bekerjakah aku? Tidak. Aku pasti sudah jadi gelandangan seperti ini. Saat ini usiaku mungkin sudah mencapai 40. aku tak tahu pasti. Aku lupa tanggal kelahiranku.
            “Pak, istri bapak dimana?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
            “Saya tidak punya istri. Tidak menikah” Jawabku santai. Ya, aku tidak menikah. Bayangkan bila aku menikah, apa yang akan kuberikan kepada keluargaku? Aku tak akan bisa bertanggung jawab.
            “Kenapa? Maaf bila saya lancang.” Tanyanya takut-takut.
            “Tidak apa-apa. Saya hanya takut tidak bisa bertanggung jawab.” Jawabku. Batukku sudah sepenunhya berhenti. Aku melihat ke langit yang menggelap. Sudah sore rupanya. Aku bertanya-tanya, berapa banyak waktu yang aku habiskan selama ini hanya untuk memungut makanan sisa? Pasti lama sekali. Sungguh tak terasa. Lalu aku bertanya kepada diriku lagi, kapan saat itu tiba? Saat Tuhan memanggilku ke tempat-Nya yang agung? Masih lama, kah?
            “Kamu sendiri apa sudah menikah?” tanyaku
            “Belum. Tapi Insya Allah akan.” Jawabnya sambil tersenyum.
            Diam menyelimuti kami. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Matahari mulai menghilang meninggalkan kegelapan di dunia. Aku meneguk air terakhir yang tersisa. Aku bangkit lalu memandang Sandi.
            “Sudah malam. Kamu pulang sana. Terima kasih untuk airnya..” ucapku ramah.
            “Bapak tinggal dimana?” tanyanya lagi
            “Sudah kubilang—“
“Tidak, pak. Kali ini saya serius. Dimana bapak tinggal? Kalau bapak mau, bapak boleh—“
“Tidak. Terima kasih. Kamu sudah begitu baik bagi saya. Saya tidak mau menyusahkan. Biarlah langit gelap ini menjagaku. Kamu pulanglah!”
Dia seperti ragu, tapi kemudian dia mengulurkan tangannya. Aku menjabatnya. Dia tersenyum dan lalu dia pergi meninggalkanku diselimuti kegelapan.

Pagi hari tiba. Aku bangun dan merapikan alat tidurku, secarik kain usang sebagai selimut dan sehelai kardus sebagai alas tidur. Toko yang terasnya aku tumpangi untuk tidur belum buka. Aku menyembunyikan alat kempingku di sudut toko lalu duduk bersila di teras toko lagi.
Aku tengah memikirkan tempat mana lagi yang akan kukunjungi hari ini, jalan mana lagi yang akan kutapaki, saat tiba-tiba perutku berkeroncong. Aku lapar. Kue lapis yang kemarin sudah habis kumakan. Tempat sampah mana lagi yang akan kudatangi? Aku mulai beranjak dari dudukku. Berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah ramai oleh para pedagang kaki lima.
Aku berjalan dan terus berjalan. Aku merasa kakiku yang mengendalikan diriku. Aku berbelok ke suatu gang sepi berjalan dengan perlahan. Berusaha menghemat sisa karbohidrat di tubuhku. Lalu aku sampai pada tempat yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Seperti sabana yang membentang luas. Untuk beberapa detik aku terkesima. Tempat apa ini? Surga, kah? Indah…luar biasa indah.  Ada pohon besar disana. Aku menutup mataku lalu membukanya lagi. Tempat ini nyata. Bagaimana mungkin aku bisa sampai kesini? Bagaimana bisa? Kakiku yang menuntunku, mungkin ini rencana Tuhan.
Aku mulai melangkah, membawa diriku mendekati pohon besar disana. Aku merasakan angin berhembus menerpa wajahku. Sejuk. Aku merasa seperti dilahirkan kembali. Aku duduk dibawah naungan pohon besar itu. Aku menghembuskan nafasku dan mulai terisak-isak. Entah mengapa tempat ini seakan menyadarkanku akan karunia Tuhan. Menyadarkanku bahwa hidup adalah salah satu karunianya. Bodohnya aku selama ini selalu mengutuk hidupku. Mengapa butuh waktu selama ini untuk menyadarinya? Aku memandang sekitarku. Menghembuskan nafasku lagi dan menghapus air mataku. Aku sendiri bingung kenapa aku bisa menangis. Aku sudah terlalu tua untuk menangis, tapi saat melihat tempat ini aku jadi tersadar dan merasakan sesuatu yang meluap memaksa untuk mendorong air mataku keluar. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku perlahan. Tak percaya selama ini aku terobsesi untuk mati. Rasa lapar yang tadi menyerangku kini hilang seketika.
Mulai saat ini obsesiku untuk mati aku batalkan. Aku akan mulai mengikuti garis kehidupan yang digambar oleh Tuhan. Membiarkan udara masuk paru-paruku dan lanjut hidup. Dan mulai menyukuri karunia Tuhan. Mengagumi ciptaan-Nya yang luar biasa mengagumkan. Aku menutup mataku perlahan,merasakan lembutnya angin mengusap wajahku. Lambat laun aku mulai tertidur..
Entah sudah berapa lama aku memejamkan mataku. Samar-samar aku mendengar suara seseorang memanggil. Aku juga merasakan tepukan halus di bahuku.
“Pak…bapak…pak…”
Aku membuka mataku. Cahaya yang langsung menerobos mataku membuat pandanganku sedikit kabur. Ku kerjapkan mataku berkali-kali dan melihat seseorang berjongkok di sebelahku. Kemeja putih panjang, celana hitam panjang, dan jam tangan silver yang dikaitkan di tangannya. Sandi.
“Sandi? Sedang apa kamu disini?” tanyaku seketika.
“Aku biasa kesini setiap sore, pak. Saya baru lihat bapak kesini..” katanya
“Iya. Saya baru tahu Tuhan menciptakan tempat seindah ini..” kataku seraya menghembuskan nafas.
“Bapak sudah makan?” tanyanya.
“Tempat apa ini?” tanyaku.
“Namanya Putih.” Katanya sambil menatap tempat ini.
“Apa?” tanyaku bingung. Sabana ini namanya Putih? Apa maksudnya. Karena tempat ini sama sekali tidak memiliki warna putih yang mendominasi.
“Ya, tanah Putih. Karena saat orang datang kesini untuk pertama kalinya, dia akan merasa seperti…”
“…dilahirkan kembali.” Potongku lirih.
“Ya, bapak merasakan efeknya? Aku masih ingat ketika pertama kali aku kesini. Aku menangis. Saat itu usiaku 23 tahun.”
“Ya, aku juga.” Kataku tertegun
“Bapak juga menangis?” tanyanya
“Iya, tempat ini mengingatkan aku akan dosa. Aku berpikir untuk berhenti melakukan dosa itu sekarang.” Kataku sengaja tak menceritakan obsesiku akan mati yang dulu aku pegang teguh.
Kami larut dalam diam. Memandangi sabana yang luas ini. Aku menarik nafas panjang lagi. Tempat ini membuat aku ingin terus menghisap dalam-dalam udara. Aku tidak ingin pergi. Aku ingin disini selamanya sampai waktuku untuk mengagumi karunia Tuhan habis. Aku ingin selamanya disini.
“Sandi, Tuhan itu Maha Segalanya. Saya tidak pernah merasa sebahagia ini sepanjang hidup saya. Saat ini saya hanya ingin disini, mengargai setiap jengkal anugerah Tuhan yang menakjubkan ini. “ aku berhenti menarik nafasku lagi. Sandi diam. Hanya mendengarkan.
“Saya tak bisa berpuisi. Tapi tempat ini benar-benar membangunkan saya akan mimpi yang salah selama ini. Menjelaskan segala hal yang tak saya ketahui selama ini. Tempat ini menyembuhkan kebutaan saya akan hidup. Saya…saya merasa bodoh, Sandi. Saya tolol selama ini terobsesi dengan hal yang seharusnya tak saya obsesikan. Saya seharusnya menghargai hidup bukan malah mencercanya seakan hidup adalah musibah. Saya tolol, Sandi. Tolol…”
Sandi memandangku lekat tapi tak bicara apa-apa. Tangannya terangkat, namun tak sampai sedetik dia menurunkannya lagi. Dia ragu untuk mengelus bahuku. Aku memandang cakrawala yang menggelap. Menarik nafasku lagi dan melanjutkan,
“Hidup ini terlalu banyak rintangan. Kekalahan membayangi, sementara kemenangan seakan terlalu jauh. Hidup ini terlalu banyak menyimpan dusta. Terlalu banyak menggantungkan harapan. Manusia seolah dipermainkannya. Padahal manusia itu sendirilah yang mempermainkan hidupnya. Tidak sadar Tuhan pasti siap membantu. Terlalu arogan untuk meminta. Padahal Tuhan telah menyediakan sejuta bahkan lebih kebahagiaan. Asalkan kita tak cukup bodoh untuk mempasrahkan diri akan keadaan, Tuhan akan mempermudah jalan.
“Manusia akan sadar setelah mereka disadarkan. Terlalu sedikit manusia yang sadar dengan sendirinya. Saya sendiri disadarkan , Sandi…disadarkan! Tuhan begitu luar biasa baiknya. Sangat baik…sangat baik.”
Matahari kembali meninggalkan bagian timur dunia. Membuatnya gelap. Bintang mulai terlihat, menggantikan sang surya bertugas memberikan penerangan.
“Sudah malam, Sandi. Kamu pulanglah.” Kataku tegas.
“Bapak akan pulang bersama saya hari ini dan seterusnya. Tinggallah bersama saya. saya tinggal sendirian di kontrakan. Bapak, saya mohon jangan menolak lagi. Saya yakin ini salah satu jalan yang diberikan Tuhan untuk bapak lewat saya.” Sandi meratap. Tangannya memegang bahuku. Aku menatapnya dalam gelap. Anak ini sungguh merupakan salah satu karunia Tuhan di dunia yang kelam ini. Seandainya ini memang takdir-Mu, Tuhan, saya mohon berkahilah.
Aku berdiri dipapah Sandi menuju istananya yang sederhana. Aku benar-benar merasa seperti dilahirkan kembali. Terima kasih untuk segalanya, Tuhan. Obsesiku saat ini adalah selalu menyukuri karunia-Mu. Namun bila saat itu tiba, saat Engkau menjemputku ke istana-Mu yang agung, aku tak akan menyambutnya dengan luapan kegembiraan seseorang yang putus asa. Kini aku akan menyambutnya dengan damai. Dengan ridho-Mu.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

anita agustina. Diberdayakan oleh Blogger.