"),

Blogger Template by Blogcrowds

.



Setangkai Bunga Kertas
Oleh: Anita Agustina

Tak pernah aku menduga semuanya akan menorehkan luka. Selama ini aku hanya bisa menunggu tanpa bisa melakukan sesuatu. Tapi apa yang kudapat? Selalu saja ada goresan luka lain.
Aku bergeming melihat air laut membawa setiap tetes air mataku pergi. Angin yang kencang menerbangkan setiap helai rambutku ke belakang. Kemejaku yang kebesaran juga ikut tertarik, seakan angin ingin menerbangkannya dari tubuhku. Kulihat matahari mulai meninggalkan bagian timur bumi, air mataku kubiarkan ikut pergi bersama terbenamnya sang surya.
Aku menarik napas dalam, menghembuskan setiap kesakitan yang bersarang di dalam diriku. Aku merosot dari pijakanku. Tak pernah aku merasa selemah ini. Kulihat matahari sudah benar-benar menghilang, digantikan oleh gemerlap lampu-lampu rumah nelayan sekitar. Aku masih tersedu sedan di atas lututku. Lalu perlahan-lahan aku bangkit, menghapus sisa-sisa kepedihan di wajahku dan mulai meyakinkan diriku untuk menghadapi setiap duri di depanku. Kutinggalkan setangkai bunga kertas di sini, berharap apa yang aku tulis di dalamnya beserta segala kepedihanku selama ini akan tersapu angin.

“Aku sebel sama dia, Mey!” Lulu menggebrak meja. Aku menatapnya ramah.
“Kenapa? Dia siapa?” kataku halus sambil merapikan tulisanku yang berantakan karena gebrakan Lulu.
“Si Arif! Dia itu malu-maluin! Selalu ngekorin aku kemana-mana!” Lulu mendelik kesal ke arahku, seakan akulah yang menyebabkan Arif bertingkah demikian. Aku menggeserkan buku-bukuku dan mulai menatap Lulu dengan pandangan sabar. Lulu selalu mengeluh kepadaku. Selalu melampiaskan kemarahan kepadaku. Tapi aku tak pernah mengeluh, begini akan lebih baik dibanding harus dituding yang macam-macam karena tak mau menanggapi Lulu. Siswi populer yang satu ini punya pengaruh kuat untuk siswa-siswi yang lain.
“Dia, kan, pacar kamu, Lu. Wajar kalau dia begitu.” Kataku.
“Aku gak pernah bener-bener suka dia!” katanya seraya pergi meningalkanku sendiri dengan perasaan yang mulai campur aduk.
Aku mengambil kembali buku catatanku. Bukannya mulai menyalin materi, aku malah mencoret-coretnya secara tak sadar. Pikiranku melayang jauh kepada seseorang yang sering membuat aku merasa lelah untuk melangkahkan kaki. Aku selalu merasa bodoh telah jatuh kedalam lubang yang aku sendiri tak tahu sedalam apa. Aku ingin keluar dari dasar lubang itu, tetapi aku tak pernah mampu. Aku malah membiarkan diriku terkurung di sana sambil menangisi kebodohanku.
Perlahan-lahan tanganku mulai mencoret garis-garis tegas. Lalu coretan itu mulai meliar. Aku membiarkan tangan dan otakku mengerjakan apa yang mereka inginkan. Mencoret lembaran kertas putih itu dengan penuh emosi. Aku tak peduli bahkan ketika pensilku patah menjadi dua karena tekanan yang terlalu kuat. Aku tak peduli. Aku hanya ingin menggambarkan kekecewaanku, rasa sakit hatiku, kemarahanku.
Aku berhenti mencoret dan melemparkan pensilku ke seberang ruangan. Aku menangis tertahan. Aku lelah dengan semua ini. Aku lelah selalu kalah. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku menangkupkan kedua telapak tanganku di wajah dan mulai tersedu. Untunglah kelas kosong karena sedang jam istirahat sehingga aku bisa dengan leluasa menangis sekuat yang aku bisa.

“Mey…”
Seseorang menepuk pundakku. Aku berbaik dan mendapati Arif tersenyum seperti orang dungu kepadaku.
“Kok belum pulang? Ngapain di kantin jam segini? Hayooo lagi galau, ya!” candanya. Aku hanya tersenyum dan lanjut meminum es teh manis milikku. Arif duduk di depanku.
“Tadi Lulu ngadu ke kamu, ya?” tanyanya. Aku bahkan tak perlu menjawabnya. “Aku bingung sama dia, Mey. Dia itu pacaran sama aku karena apa, ya? Kayaknya dia gak pernah sayang sama aku.” Arif memandang lurus kepadaku. Aku jadi tertarik untuk memandang batu es yang berenang di teh manisku.
“Kamu kenapa, Mey?” katanya. Ada nada khawatir dari suaranya. Aku balas memandangnya.
“Aku gak apa-apa.” Kataku sambil tersenyum.
“Mata kamu agak bengkak. Eh, ngomong-ngomong, masalah yang tadi, coba kamu ngomong sama Lulu. Aku gak tahan kalo harus gini terus. Aku sayang dia, Mey!” katanya meratap. Aku merasa seperti menelan pil pahit.
“Nanti—nanti aku bilang.” Ucapku kaku.
“Makasi, ya, Mey!” katanya seraya berlalu dari hadapanku.
Aku memandang es teh manis di hadapanku. Rasa manisnya tak akan mampu menetralisir segala kepahitan yang aku dapatkan hari ini.

Hari berganti. Tapi aku tak pernah bisa menggantikan perasaan ini. Kulihat waktu menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Dengan enggan aku melangkahkan kaki menuju sekolah yang beberapa hari ini menjadi suram untukku.
Tak jauh, namun juga tidak dekat. Aku lebih memilih berjalan kaki, sekalian melatih otot-otot kakiku untuk bertahan. Aku menghirup dalam udara pagi. Dingin, menyegarkan paru-paruku, tapi tidak untuk hatiku.
“Mey!” panggil seseorang.
Aku melihat sebuah sepeda motor melintas dan berhenti di sampingku.
“Bareng, yuk!” ajak Arif.
Aku menggelengkan kepala. “Kok gak bareng Lulu?” tanyaku.
“Enggak. Dia udah berangkat duluan. Ayo, aku bonceng!” ajaknya lagi. Aku menganggukkan kepalaku dan bergegas duduk di belakangnya.
Aku memperhatikan punggung Arif. Rasanya aku ingin mendekapnya dan tak mau kulepaskan. Aku ingin menghambur ke dalam pelukannya yang menenangkan. Aku ingin melampiaskan segala kesakitanku selama ini. Aku ingin Arif menjadi milikku. Aku ingin Arif tahu bahwa aku lebih peduli padanya dibanding Lulu. Aku ingin Arif sadar betapa aku sayang padanya. Aku ingin marah pada Arif yang lebih memilih jatuh hati pada Lulu yang bahkan tak pernah benar-benar suka padanya.
“Makasi, ya, Rif!” kataku setelah turun dari motornya. Arif melepas helmnya dan tersenyum kepadaku. Senyum dungu seperti biasanya.
“Nanti pulang sekolah aku mau ngobrol bentar sama kamu, ya! Aku tunggu di kantin.” Kata Arif. Aku menganggukan kepala dan berlalu dari hadapannya. Mungkin Arif akan membicarakan tentang Lulu. Rasa sakit hatiku harus kutahan lagi.
“Meylaaaa!” teriak Lulu dari pintu kelas. Aku memaksakan tersenyum. Lulu mengikutiku hingga aku duduk di kursiku.
“Arif tadi jemput kamu, lho, ke rumah. Tapi katanya kamu udah berangkat.” Kataku.
“Uh, biarin aja deh!” katanya sambil memainkan ujung rambutnya. “Tadi aku liat kamu dibonceng Arif.” Kata Lulu, nadanya dibuat sebiasa mungkin.
“Iya. Em, kamu gak marah, kan?” kataku takut-takut.
“Enggaklah, ngapain marah.” Katanya sambil tersenyum.
“Kamu sayang gak sih sama Arif?” tanyaku, menyudutkan.
“Aku gak tau. Tapi kayaknya aku udah mulai sayang sama dia.” Katanya dengan suara pelan. Aku seperti tertusuk bambu runcing.
“Sana temuin Arif! Kasian dia nanya-nanya terus dari kemarin.” Kataku sok bijak.
“Nanti deh jam istirahat. Aku ceritain semua kalo udah ketemu dia, ya!” Katanya lalu pergi melesat ke tempat duduknya.
Tapi cerita itu tak kunjung hadir seharian itu. Aku tahu Lulu benar-benar pergi menemui Arif. Tapi apa yang terjadi setelah itu aku tak tahu. Lulu menjadi beda seharian itu kepadaku. Aku menegurnya, menanyakan bagaimana kelanjutan ceritanya dengan Arif. Tapi dia selalu menghindariku. Terlebih lagi, Lulu selalu berusaha tertawa riang di depanku.
“Aku aneh sama Lulu deh, Rif.” Kataku, mengadu pada Arif. Kulihat Arif menautkan kedua alisnya. Tapi tak menanggapi ucapanku.
“Dia jadi enggak mau ngobrol sama aku. Kenapa, ya?" tanyaku lagi. Arif menatapku lurus lalu menghembuskan napasnya perlahan.
“Aku mutusin dia.”
“HA??! Kok bisa??” aku tak percaya. Harusnya Arif senang karena Lulu mulai sayang padanya. Tapi kenapa dia malah mengakhiri hubungan? Tapi tiba-tiba aku merasa naif. Mungkin aku kaget mendengar berita ini, tapi aku juga tak memungkiri kalau aku merasa sedikit senang. Jahat bukan?
“Aku gak tahan.” Kata Arif, memainkan sedotan air mineralnya.
“Tapi kan Lulu udah mulai sayang sama kamu.”
“Itu kesalahan dia, Mey. Berarti selama ini dia enggak sayang sama aku? Ngapain dia jadian sama aku kalo emang dia enggak suka?” Arif penuh emosi. Seketika berkelebat di pikiranku kata-kata Lulu tempo hari ‘Aku gak pernah bener-bener suka dia!’
“Tapi kenapa Lulu ngehindari aku?” kataku masih bingung.
“Aku—aku bilang sama Lulu kalo, ehm, kalo kamu lebih berarti dibanding dia.”
“HA??” ucapku tak percaya. Ini adalah berita yang paling mengagetkan sepanjang hari ini. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, tak percaya.
“Mungkin itu yang bikin dia gak ngomong sama kamu. Maaf, ya!” kata Arif memelas. Aku kehilangan kata-kata.
“Aku—aku ngomong gitu soalnya aku memang memilih kamu dibanding dia, Mey. Kamu, kan, sahabat aku.”
Deg. Sahabat. Hanya sahabat, ya? Aku menelan ludah. Ternyata memang sebatas itu.
“Enggak harus mutusin dia, kan, Rif? Kamu cuma emosi.” aku berusaha menahan air mataku.
Arif kelihatan salah tingkah. Aku perhatikan laki-laki yang selama ini menyakitkan hatiku ini. Laki-laki tinggi dengan rambut lurus yang mengacak di kepalanya tak akan pernah aku lupakan. Sekian lama berteman dengan Arif, aku sampai hafal segala bentuk tingkah lakunya dan arti gerak tubuhnya. Arif menyesal.
Aku memang sangat menginginkan dia jadi pacarku. Tapi aku tak tega melihatnya diliputi rasa sesal. Aku siap untuk sakit hati lagi.
“Rif…kalau kamu emang sayang sama Lulu, enggak perlu gengsi. Aku bakalan terus ngedukung kamu. Oke?” kataku menghibur. Kugenggam telapak tangannya, berusaha untuk menguatkannya…dan menguatkanku.
“Aku anter kamu pulang, ya, Mey!” Arif berdiri mencari kunci motor di sakunya.
“Enggak. Kamu temuin Lulu sana!” kataku meyakinkannya.
Arif sejenak ragu lalu memelukku dengan hangat. Aku menggigit bibirku, berusaha agar tak menangis. Arif melepaskan pelukannya. Dengan satu anggukan kecil, dia meninggalkanku.

Angin laut ini membuatku rindu. Aku duduk di atas karang, sekali lagi membiarkan air mataku menyatu dengan laut. Bendungan air mata yang sejak tadi siang kutahan memberontak dengan kuat, sehingga aku hanya bisa mebiarkannya keluar dan terus keluar. Cengeng bukan main aku ini.
Aku kembali mengingat saat terakhir kali Arif memelukku, rasanya ingin kuberhentikan waktu. Arif telah memilih. Dan aku hanya bisa melepasnya pergi. Aku ingin Arif tahu bahwa aku begitu menyanyanginya. Lebih dari sekedar sahabat. Tapi aku tak pernah berani mengungkapkannya.
“Aku sayang kamu, Rif. Aku bodoh gak pernah bilang sama kamu. Bodoooohhhh!! Aku gak pernah berani bilang. Dan sepertinya kamu gak akan pernah tau, kecuali ombak-ombak ini yang bilang sama kamu!” teriakku menandingi suara gemuruh ombak.
“Ombaknya gak perlu cerita sama aku, Mey.”
Mataku terbelalak. “Arif??? Tap—tapi, sejak kapan kamu—kamu?” kataku gagap.
“Sejak kapan aku di sini? Sejak kamu jadi cewek cengeng yang meratapi nasib di pinggir laut.” Canda Arif. Aku salah tingkah. Buru-buru kuhapus air mataku. Aku menunduk menatap karang, tak berani melihat Arif.
“Udah deh, gak usah sok tegar gitu.” Arif memegang kedua bahuku. Aku menelan ludah.
“Kok kamu ada di sini?” kataku, masih menundukkan kepala.
“Aku mau liat pembuat bunga kertas ini.”
Bunga kertas? Aku mengangkat kepalaku, memandang setangkai bunga kertas di tangan Arif. Itu bunga yang kutinggalkan.
“Kok—kok bisa?” ucapku tak percaya.
“Bisa dong. Aku juga udah baca semuanya. Dan…kamu emang bodoh, Mey. Atau aku yang bodoh, ya? Di kertas ini ditulis ‘Arif memang bodoh.’” katanya sambil mengusap-usap dagu.
“Ih, apaan sih!” aku merasa mukaku semerah matahari senja.
“Aku yang bodoh, Mey. Aku gak pernah nyadar kalo kamu selama ini selalu ada buat aku. Aku yang buta gak bisa melihat betapa tulusnya kamu selama ini.”
“Kita sama-sama bodoh.” Aku memberanikan diri melihat ke arahnya.
“Aku mau bilang makasi untuk semua dan selama ini. Maaf aku udah bikin kamu sakit hati. Maaf juga udah bikin kamu nunggu terlalu lama.” Arif merapikan rambutku yang ditiup angin. Aku mematung.
“Boleh aku jadi pacar kamu?” Arif bersungguh-sungguh. Aku tercekat.
“Lulu gimana?” tanyaku sedikit khawatir. Sebagaimanapun menyebalkannya Lulu, aku tetap merasa tak enak hati padanya.
“Gak usah dipikirin. Lulu urusan aku.” kata Arif. Aku memandang ke arah matanya. Secara perlahan, aku menganggukan kepalaku.
Arif mendekapku dengan kuat, seakan tak ingin melepasku pergi. Nyatanya, aku pun demikian. Tak akan pernah membiarkan Arif pergi.
Di antara ombak yang bergulung dan lembutnya lembayung senja, aku biarkan Arif menebus segala sakit hatiku, rasa kecewaku, kepedihanku. Di atas kuatnya karang aku berterima kasih kepada angin laut yang telah menerbangkan setangkai bunga kertas milikku kepada orang yang tepat.

Cerpen: Dion

Beberapa hari yang lalu gue nemu cerpen yang mean something for me. Dan kayaknya bukan cuma buat gue, tapi buat salah satu temen gue juga. Ini cerpen yang gua buat khusus untuk dia bermilyaran tahun yang lalu. I will not keep it for myself, so this is my story...Happy reading! :)



Dion…

Itu tak nyata
Namun sangat terasa
Saat matahari menghilang
Menyisakan lukisan kelam bumi
Gelap…

            Deg!
            Dia pergi kesana. Akhirnya tugas hidupnya berakhir sudah. Tuhan memanggilnya, meminta laporan perjalanan semasa hidupnya.
Aku tak percaya! Dan sulit untuk percaya. Dia sahabatku. Teman seperjalanan hidupku. Teman berbagi keluh kesahku. Teman bertengkarku, teman sebaik-baiknya teman.
Hari ini dia pergi meninggalkan aku dalam sunyi. Mematung diantara orang-orang yang menangisinya. Aku benci warna hitam! Warna kesedihan.  Warna keputusasaan. Warna… kematian!
Semua orang disini mengenakan warna hitam di tubuhnya, termasuk aku. Aku melihatnya siap terkubur dalam tanah dimana dia terbuat. Lebih banyak tangisan saat sedikit demi sedikit tanah menutupi jasadnya.. Aku menangis, mereka menangis. Apakah dia menangis? Dia? Dia yang terkubur di sana? Apakah dia menangisi kami yang menagis untuknya? Aku berharap dia tidak menangis. Aku harap dia tenang. Lebih tepatnya menenangkan kami di sini.

# # # #

Hari ini aku mulai bersekolah kembali setelah kemarin absen dari kelas karena mengunjungi Dion yang terakhir kali. Terakhir kali? Ya ampun! Aku benci kata-kata itu. kenapa sedikit sekali waktu yang dia punya? Kenapa Tuhan tak mengijinkanya untuk sekedar menghirup udara lebih lama? Kenapa juga harus dia yang dipanggil Tuhan dari sekian banyak orang sekarat karena penyakitnya? Apakah ini adil Tuhan? Dia masih harus hidup! Aku tak percaya dia pergi! Aku merindukannya. Merindukan saat dia menunjukkan hasil karyanya. Puisi singkat namun bermakna. Menunjukan cerpen true story miliknya. Aku benar-benar merindukannya.
“Gue kangen si Dion..” Ucapku bergetar. Mataku menerawang ke cakrawala. Bibirku terkatup rapat menahan tangis. Aku menghela napas perlahan. Berharap kantung mataku tak menumpahkan air mata saat ini. Aku harus berusaha tegar.
“Gue ketemu dia semalem,” Bagus menyahutiku. Aku tersentak! Dion sudah pergi kemarin pagi! Bagaimana mungkin dia bertemu dengannya semalam?
“Gue tau kedengerannya freak, tapi gue gak bohong, Ris! Dia disana, di luar kaca rumah gue.” aku memandanya tak percaya. Itu mungkin saja. Banyak orang yang berkata mereka melihat keluarganya yang sudah meninggal, mungkin mau ‘pamitan’ katanya. Tapi aku tak percaya. Tepatnya belum percaya. Aku belum merasakannya. Aku ingin melihatnya. Seperti Bagus melihatnya.
Sepertinya aku membayangkan. Dion disana diatas gedung lantai dua, tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Tak percaya dengan yang kulihat. Ini bukan bayangan. Ini sungguhan! Dia benar-benar datang! Aku berlari dari teras kelasku. Berlari menyusulnya diatas sana. Aku ingin melihatnya lebih jelas. Aku ingin dia tahu aku baik-baik saja. Aku ingin dia percaya aku sahabat yang baik untuknya. Aku ingin bilang dia sahabat terbaikku. Aku ingin bilang aku… merindukannya!
Dia disana. Masih berdiri sambil tersenyum. Rasanya aneh, lantai dua di gedung ini menjadi berbeda. Aku tak mengenal wajah-wajah ini. Rasanya disini sunyi. Walau banyak orang disini tapi mereka berbicara dengan suara yang amat pelan. Itu dia berbalik menghadapku. Aku melambatkan langkahku. Takut kalau ini hanya imajinasiku saja. Tapi dia tidak hilang. Dia masih diasana menungguku mendekat. Aku berjarak satu meter darinya sekarang. Ini nyata! Dia … dia… hantu? Tapi tampak solid!
“Dion…” sapaku sambil terengah. Matanya menangkap mataku. Dia masih tersenyum. Aku membalas senyumnya. Aku mengulurkan tanganku,berharap dia menjabatnya. Tapi tidak! Dia menggeleng perlahan. Hatiku mencelos. Itu meyakinkanku bahwa dia tak bisa menyentuhku.
“Apa kabar?” ucapnya perlahan. Aku memperhatikannya. Dia memakai kaus biru langit dan celana panjang hitam. Jika dia hantu harusnya dia memakai pakaian putih bukan? Ini aneh sekali. Tapi aku tak mau kehilangan kesempatan untuk berbicara lebih lama dengannya.
“Kabar gue baik, Di. Kabar lo gimana? Gue kangen elo, Di!” ucapku bergetar. Tanganku ikut bergetar. Dia menatapku lembut. Tangannya dimasukkan ke saku celananya.
“Kabar gue juga baik. Gue juga kangen elo, Ris!”
“Gimana?” kataku terburu. Dion mengerutkan keningnya.
“Gimana apanya?” katanya heran. Aku merutuki diriku karena berkata tidak jelas. Sejenak aku ragu-ragu mengatakannya. Tapi, aku penasaran.
“Gimana rasanya meninggal?” kata-kata itu keluar begitu saja. Aku sudah mengatakannya! Dion terdiam, matanya menerawang jauh ke angkasa. Apa aku salah sudah bertanya? Tapi aku penasaran.
“Rasanya singkat. Entahlah, semuanya jadi putih. Gue gak tau, gue dimana. Yang jelas disana tenang. Gue ngerasa damai. Rasanya aneh ada disana. Gue gak tau apa yang terjadi. Yang gue tahu, gue udah ninggalin bumi untuk selamanya.”
Ucapan Dion tidak jelas, namun mengejutkan. Dia bilang ‘meninggalkan bumi untuk selamanya’. Pedih rasanya saat dia menyadari kematiannya. Pedih rasanya saat aku sadar aku harus benar-benar kehilangannya. Rasa itu benar-benar pedih!
“Gue berharap lo gak pergi, Di! Gue berharap lo selalu ada buat gue. Lo sahabat gue! Gue… gue gak mau kehilangan elo. Bisa gak lo tinggal lebih lama? Sekedar buat nemuin gue tiap hari? Sekedar buat ngedengerin curhatan gue kayak biasanya. Gue mohon, Di!” ucapku memohon. Pelupuk mataku mulai membendung butiran air mata yang siap jatuh dengan deras. Napasku panjang-pendek. Bibirku bergetar. Sulit rasanya menahan tangis.
“Gue selalu ada buat elo, Ris! Buat Risa sahabat karib gue. Gue ada saat lo butuh. Gue ada dihati lo. Gue gak akan pergi.”
Air mataku jatuh. Setitik, dua titik, tiga titik. Aku tak menghiraukan jumlahnya. Terlalu banyak tetesan air mata. Basah membanjiri pipiku. Ingin rasanya aku memeluknya. Memeluk sahabat karibku untuk terakhir kali. Tapi itu tak mungkin. Untuk berjabat tangan saja aku tidak bisa.
Dia memandangku, memberikan senyum tulus seperti yang biasa dia beri kepadaku. Dia mulai tak jelas. Pandanganku yang kabur atau dia memang akan pergi meninggalkan aku untuk selamanya? Tapi pandanganku terhadap benda lain jelas. Dion…
“Dion! Dion! Lo mau kemana? Please jangan pergi dulu. Gua masih mau cerita sama lo! Dion!” rengekku sambil menggapai-gapai tubuhnya yang mulai meremang. Sia-sia memang. Tapi aku tak ingin dia pergi.
“Gue, gak kemana-mana! Gue ada dihati lo, Risa!” ucapnya kabur. Tapi aku mendengarnya. Mendengar dia menyebut namaku yang terakhir kali. Air mataku terus membanjiri pipiku.
Dia pergi. Dion pergi. Kenapa secepat ini? ‘gue ada dihati lo, Risa’
“Risa! Risa! Risa!” sebuah suara memanggilku. Tapi aku tak melihat siapa yang memanggil.
           
^ ^ ^

“Risa! Risa!” suara itu semakin jelas. Dia mengguncang-guncang tubuhku. Aku membuka mataku perlahan. Kulihat wajah yang begitu familiar dihidupku. Mama. Aku bangun. Melihat kesekeliling ruangan. Ini kamarku! Apa yang sedang aku lakukan disini? Dion! Tiba-tiba aku teringat Dion. Dimana dia? Apakah dia sudah ke surga?
“Mama?” ucapku mengawali segala pertanyaan besar di otakku.
“Kamu ngapain ngigo? Sambil nangis pula! Kenapa?” tanyanya bertubi-tubi. Ngigo? Berarti ini cuma mimpi. Kalau ini mimpi, berarti Dion gak benar-benar pergi. Dia masih hidup.
“Umm, aku mimpi, Ma!” ucapku seraya menggaruk belakang leherku. Ini mimpi? Ini mimpi! Aku bersyukur dalam hati kalau ini cuma mimpi.
“Mandi sana! Udah jam setengah enam ini! Kamu gak sekolah?” ucapnya seraya pergi meninggalkan aku yang bersorak dalam hati kalau ini hanya mimpi. “Dion… sahabat gue! Dia gak mungkin pergi ninggalin gue.” Ucapku lalu berggas ke kamar mandi.

^ ^ ^
Aku melangkahkan kakiku dengan perasaan yang aneh. ‘semalem gue mimpi Dion mati! Kok bisa, ya?’ ucapku dalam hati.
Pintu kelas terbuka lebar, aku meletakkan tasku di meja yang biasa kugunakan untuk menerima pelajaran. ‘Itu Dion! Dia gak bener-bener pergi! Dia masih ada disini. Masih senyum sama gue. Masih megang pensil buat ngerjain PR. Itu bener-bener Dion!’
Semalam itu tak nyata! Itu hanya mimpi. Tapi benar-benar terasa. Saat dia bilang ‘gue ada di hati elo, Risa’ rasanya dia bener-bener pergi. Rasanya itu nyata. Waktu dia senyum dan melambaikan tangan dari kejauhan, itu juga palsu, tapi rasanya nyata.
Aku duduk dengan perasaan tak enak. Mencuri pandang ke arah Dion. Dia masih di sana. Rasanya aku jadi aneh. Semoga tidak ada yang sadar dengan perubahan sikapku. Aku membuka buku catatan Fisikaku. Ingin terjun kedalamnya. Ingin melupakan sejenak pikiran tentang Dion yang pergi meninggalkan dunia. Tapi yang ada aku malah mencoret-coret buku itu dengan kata-kata yang menbuatku ingin menangis.
He always come to me.. He tell about the death.. About the white color..
He is gone.. But he always be there.. I cried when I couldn’t hug him. He looks so real. But he is false. I can’t look him again.. I feel empty..
Is he ghost? But he looks so real! If he death, I don’t know what must I do. It’s the strange dream..
Aku mengusap mataku perlahan. Tak mau kelihatan orang kalau aku menangis. Seseorang menapuk pundakku dari belakang. Aku menengokkan wajahku. Dia disana. Dion. Berdiri dihadapanku dengan senyuman seperti biasanya.
“Gue lagi bikin cerpen baru. True story kayak biasanya. Ini tentang seorang dokter yang berarti banget di hidup gue.” Dia bercerita. Ini Dion, memang benar Dion. Akhirnya… ini nyata. Dion memang masih hidup. Ini bukan mimpi. Aku membalas senyumnya. “Gue pengen baca. Dan… gue juga lagi bikin cerpen. Ini tentang mimpi gue!” kataku membuatnya penasaran. Itu Dion, memang Dion. Orang yang selalu berbagi cerita denganku. Orang yang selalu memunjukkan hasil karyanya kepadaku. Orang yang selalu ada saat aku butuh. Itu Dion… sahabatku.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

anita agustina. Diberdayakan oleh Blogger.