"),

Blogger Template by Blogcrowds

.

Cerpen: Dion

Beberapa hari yang lalu gue nemu cerpen yang mean something for me. Dan kayaknya bukan cuma buat gue, tapi buat salah satu temen gue juga. Ini cerpen yang gua buat khusus untuk dia bermilyaran tahun yang lalu. I will not keep it for myself, so this is my story...Happy reading! :)



Dion…

Itu tak nyata
Namun sangat terasa
Saat matahari menghilang
Menyisakan lukisan kelam bumi
Gelap…

            Deg!
            Dia pergi kesana. Akhirnya tugas hidupnya berakhir sudah. Tuhan memanggilnya, meminta laporan perjalanan semasa hidupnya.
Aku tak percaya! Dan sulit untuk percaya. Dia sahabatku. Teman seperjalanan hidupku. Teman berbagi keluh kesahku. Teman bertengkarku, teman sebaik-baiknya teman.
Hari ini dia pergi meninggalkan aku dalam sunyi. Mematung diantara orang-orang yang menangisinya. Aku benci warna hitam! Warna kesedihan.  Warna keputusasaan. Warna… kematian!
Semua orang disini mengenakan warna hitam di tubuhnya, termasuk aku. Aku melihatnya siap terkubur dalam tanah dimana dia terbuat. Lebih banyak tangisan saat sedikit demi sedikit tanah menutupi jasadnya.. Aku menangis, mereka menangis. Apakah dia menangis? Dia? Dia yang terkubur di sana? Apakah dia menangisi kami yang menagis untuknya? Aku berharap dia tidak menangis. Aku harap dia tenang. Lebih tepatnya menenangkan kami di sini.

# # # #

Hari ini aku mulai bersekolah kembali setelah kemarin absen dari kelas karena mengunjungi Dion yang terakhir kali. Terakhir kali? Ya ampun! Aku benci kata-kata itu. kenapa sedikit sekali waktu yang dia punya? Kenapa Tuhan tak mengijinkanya untuk sekedar menghirup udara lebih lama? Kenapa juga harus dia yang dipanggil Tuhan dari sekian banyak orang sekarat karena penyakitnya? Apakah ini adil Tuhan? Dia masih harus hidup! Aku tak percaya dia pergi! Aku merindukannya. Merindukan saat dia menunjukkan hasil karyanya. Puisi singkat namun bermakna. Menunjukan cerpen true story miliknya. Aku benar-benar merindukannya.
“Gue kangen si Dion..” Ucapku bergetar. Mataku menerawang ke cakrawala. Bibirku terkatup rapat menahan tangis. Aku menghela napas perlahan. Berharap kantung mataku tak menumpahkan air mata saat ini. Aku harus berusaha tegar.
“Gue ketemu dia semalem,” Bagus menyahutiku. Aku tersentak! Dion sudah pergi kemarin pagi! Bagaimana mungkin dia bertemu dengannya semalam?
“Gue tau kedengerannya freak, tapi gue gak bohong, Ris! Dia disana, di luar kaca rumah gue.” aku memandanya tak percaya. Itu mungkin saja. Banyak orang yang berkata mereka melihat keluarganya yang sudah meninggal, mungkin mau ‘pamitan’ katanya. Tapi aku tak percaya. Tepatnya belum percaya. Aku belum merasakannya. Aku ingin melihatnya. Seperti Bagus melihatnya.
Sepertinya aku membayangkan. Dion disana diatas gedung lantai dua, tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Tak percaya dengan yang kulihat. Ini bukan bayangan. Ini sungguhan! Dia benar-benar datang! Aku berlari dari teras kelasku. Berlari menyusulnya diatas sana. Aku ingin melihatnya lebih jelas. Aku ingin dia tahu aku baik-baik saja. Aku ingin dia percaya aku sahabat yang baik untuknya. Aku ingin bilang dia sahabat terbaikku. Aku ingin bilang aku… merindukannya!
Dia disana. Masih berdiri sambil tersenyum. Rasanya aneh, lantai dua di gedung ini menjadi berbeda. Aku tak mengenal wajah-wajah ini. Rasanya disini sunyi. Walau banyak orang disini tapi mereka berbicara dengan suara yang amat pelan. Itu dia berbalik menghadapku. Aku melambatkan langkahku. Takut kalau ini hanya imajinasiku saja. Tapi dia tidak hilang. Dia masih diasana menungguku mendekat. Aku berjarak satu meter darinya sekarang. Ini nyata! Dia … dia… hantu? Tapi tampak solid!
“Dion…” sapaku sambil terengah. Matanya menangkap mataku. Dia masih tersenyum. Aku membalas senyumnya. Aku mengulurkan tanganku,berharap dia menjabatnya. Tapi tidak! Dia menggeleng perlahan. Hatiku mencelos. Itu meyakinkanku bahwa dia tak bisa menyentuhku.
“Apa kabar?” ucapnya perlahan. Aku memperhatikannya. Dia memakai kaus biru langit dan celana panjang hitam. Jika dia hantu harusnya dia memakai pakaian putih bukan? Ini aneh sekali. Tapi aku tak mau kehilangan kesempatan untuk berbicara lebih lama dengannya.
“Kabar gue baik, Di. Kabar lo gimana? Gue kangen elo, Di!” ucapku bergetar. Tanganku ikut bergetar. Dia menatapku lembut. Tangannya dimasukkan ke saku celananya.
“Kabar gue juga baik. Gue juga kangen elo, Ris!”
“Gimana?” kataku terburu. Dion mengerutkan keningnya.
“Gimana apanya?” katanya heran. Aku merutuki diriku karena berkata tidak jelas. Sejenak aku ragu-ragu mengatakannya. Tapi, aku penasaran.
“Gimana rasanya meninggal?” kata-kata itu keluar begitu saja. Aku sudah mengatakannya! Dion terdiam, matanya menerawang jauh ke angkasa. Apa aku salah sudah bertanya? Tapi aku penasaran.
“Rasanya singkat. Entahlah, semuanya jadi putih. Gue gak tau, gue dimana. Yang jelas disana tenang. Gue ngerasa damai. Rasanya aneh ada disana. Gue gak tau apa yang terjadi. Yang gue tahu, gue udah ninggalin bumi untuk selamanya.”
Ucapan Dion tidak jelas, namun mengejutkan. Dia bilang ‘meninggalkan bumi untuk selamanya’. Pedih rasanya saat dia menyadari kematiannya. Pedih rasanya saat aku sadar aku harus benar-benar kehilangannya. Rasa itu benar-benar pedih!
“Gue berharap lo gak pergi, Di! Gue berharap lo selalu ada buat gue. Lo sahabat gue! Gue… gue gak mau kehilangan elo. Bisa gak lo tinggal lebih lama? Sekedar buat nemuin gue tiap hari? Sekedar buat ngedengerin curhatan gue kayak biasanya. Gue mohon, Di!” ucapku memohon. Pelupuk mataku mulai membendung butiran air mata yang siap jatuh dengan deras. Napasku panjang-pendek. Bibirku bergetar. Sulit rasanya menahan tangis.
“Gue selalu ada buat elo, Ris! Buat Risa sahabat karib gue. Gue ada saat lo butuh. Gue ada dihati lo. Gue gak akan pergi.”
Air mataku jatuh. Setitik, dua titik, tiga titik. Aku tak menghiraukan jumlahnya. Terlalu banyak tetesan air mata. Basah membanjiri pipiku. Ingin rasanya aku memeluknya. Memeluk sahabat karibku untuk terakhir kali. Tapi itu tak mungkin. Untuk berjabat tangan saja aku tidak bisa.
Dia memandangku, memberikan senyum tulus seperti yang biasa dia beri kepadaku. Dia mulai tak jelas. Pandanganku yang kabur atau dia memang akan pergi meninggalkan aku untuk selamanya? Tapi pandanganku terhadap benda lain jelas. Dion…
“Dion! Dion! Lo mau kemana? Please jangan pergi dulu. Gua masih mau cerita sama lo! Dion!” rengekku sambil menggapai-gapai tubuhnya yang mulai meremang. Sia-sia memang. Tapi aku tak ingin dia pergi.
“Gue, gak kemana-mana! Gue ada dihati lo, Risa!” ucapnya kabur. Tapi aku mendengarnya. Mendengar dia menyebut namaku yang terakhir kali. Air mataku terus membanjiri pipiku.
Dia pergi. Dion pergi. Kenapa secepat ini? ‘gue ada dihati lo, Risa’
“Risa! Risa! Risa!” sebuah suara memanggilku. Tapi aku tak melihat siapa yang memanggil.
           
^ ^ ^

“Risa! Risa!” suara itu semakin jelas. Dia mengguncang-guncang tubuhku. Aku membuka mataku perlahan. Kulihat wajah yang begitu familiar dihidupku. Mama. Aku bangun. Melihat kesekeliling ruangan. Ini kamarku! Apa yang sedang aku lakukan disini? Dion! Tiba-tiba aku teringat Dion. Dimana dia? Apakah dia sudah ke surga?
“Mama?” ucapku mengawali segala pertanyaan besar di otakku.
“Kamu ngapain ngigo? Sambil nangis pula! Kenapa?” tanyanya bertubi-tubi. Ngigo? Berarti ini cuma mimpi. Kalau ini mimpi, berarti Dion gak benar-benar pergi. Dia masih hidup.
“Umm, aku mimpi, Ma!” ucapku seraya menggaruk belakang leherku. Ini mimpi? Ini mimpi! Aku bersyukur dalam hati kalau ini cuma mimpi.
“Mandi sana! Udah jam setengah enam ini! Kamu gak sekolah?” ucapnya seraya pergi meninggalkan aku yang bersorak dalam hati kalau ini hanya mimpi. “Dion… sahabat gue! Dia gak mungkin pergi ninggalin gue.” Ucapku lalu berggas ke kamar mandi.

^ ^ ^
Aku melangkahkan kakiku dengan perasaan yang aneh. ‘semalem gue mimpi Dion mati! Kok bisa, ya?’ ucapku dalam hati.
Pintu kelas terbuka lebar, aku meletakkan tasku di meja yang biasa kugunakan untuk menerima pelajaran. ‘Itu Dion! Dia gak bener-bener pergi! Dia masih ada disini. Masih senyum sama gue. Masih megang pensil buat ngerjain PR. Itu bener-bener Dion!’
Semalam itu tak nyata! Itu hanya mimpi. Tapi benar-benar terasa. Saat dia bilang ‘gue ada di hati elo, Risa’ rasanya dia bener-bener pergi. Rasanya itu nyata. Waktu dia senyum dan melambaikan tangan dari kejauhan, itu juga palsu, tapi rasanya nyata.
Aku duduk dengan perasaan tak enak. Mencuri pandang ke arah Dion. Dia masih di sana. Rasanya aku jadi aneh. Semoga tidak ada yang sadar dengan perubahan sikapku. Aku membuka buku catatan Fisikaku. Ingin terjun kedalamnya. Ingin melupakan sejenak pikiran tentang Dion yang pergi meninggalkan dunia. Tapi yang ada aku malah mencoret-coret buku itu dengan kata-kata yang menbuatku ingin menangis.
He always come to me.. He tell about the death.. About the white color..
He is gone.. But he always be there.. I cried when I couldn’t hug him. He looks so real. But he is false. I can’t look him again.. I feel empty..
Is he ghost? But he looks so real! If he death, I don’t know what must I do. It’s the strange dream..
Aku mengusap mataku perlahan. Tak mau kelihatan orang kalau aku menangis. Seseorang menapuk pundakku dari belakang. Aku menengokkan wajahku. Dia disana. Dion. Berdiri dihadapanku dengan senyuman seperti biasanya.
“Gue lagi bikin cerpen baru. True story kayak biasanya. Ini tentang seorang dokter yang berarti banget di hidup gue.” Dia bercerita. Ini Dion, memang benar Dion. Akhirnya… ini nyata. Dion memang masih hidup. Ini bukan mimpi. Aku membalas senyumnya. “Gue pengen baca. Dan… gue juga lagi bikin cerpen. Ini tentang mimpi gue!” kataku membuatnya penasaran. Itu Dion, memang Dion. Orang yang selalu berbagi cerita denganku. Orang yang selalu memunjukkan hasil karyanya kepadaku. Orang yang selalu ada saat aku butuh. Itu Dion… sahabatku.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

anita agustina. Diberdayakan oleh Blogger.