"),

Blogger Template by Blogcrowds

.

Mama

Aku mencintainya
Lebih dari aku mencintai dunia
Aku mencintainya
Cinta yang lebih besar dari nirwana

Aku mencintainya
Mencintai setiap senyum ikhlasnya
Aku mencintainya
Mencintai setiap hembusan nafasnya

Dalam gemuruh kebohongan
Aku mengatakan kejujuran
Aku mencintai dia sepenuhnya

Aku mencintainya
Wanita yang membangunkanku ketika aku terjatuh
Wanita yang memegangiku ketika aku terantuk batu
Wanita yang memelukku ketika aku lelah berlalu

Aku mencintainya sepanjang hayatku
Sepanjang nafas ini menghidupkanku
Sepanjang nadi ini berdenyut di tubuhku
Sepanjang cinta sucinya padaku..

Doaku untuk-Mu, Tuhan


Aku percaya keajaiban itu ada. Percaya akan apa yang Tuhan janjikan. Aku berharap aku bisa terbang, mengelilingi dunia dan melupakan masalahku sejenak. Aku berharap Tuhan mau mengabulkan doaku untuk kali ini saja.. biarkan aku damai, Tuhan.. biarkan aku tidur di atas kasih sayang-Mu.. bantu aku berdiri Tuhan.. bantu aku menata lagi kehidupanku yang telah hancur. Siapa lagi yang akan mendengarku selain Engkau? Engkau Yang Maha Mendengar. Siapa lagi yang akan membatuku selain Engkau? Engkau Yang Maha Pengasih..
Bantu aku berlari,Tuhan.. Bantu aku menata lagi mimpi. Bantu aku mengubah jalan hidupku. Bantu aku untuk menjadi kuat. Bantu aku untuk selalu ada pada jalan-Mu. Bantu aku untuk selalu berusaha. Biarkan aku tegar, Tuhan. Biarkan aku menangis sejadi-jadinya. Biarkan aku merebahkan rasa lelah di samping-Mu. Biarkan aku terjatuh dalam peluk-Mu. Biarkan aku menangis..
Berikan kedamain, Tuhan.. Berikan kekuatan untuk berjalan. Berikan aku kasih-Mu. Berikan aku kehidupan yang tenang. Berikan aku kekuatan…
Untuk kali ini, Tuhan. Biarkan aku menangis. Biarkan aku merasa kalah. Biarkan aku melupakan segalanya. Biarkan aku tertidur…
Tuhan, aku ingin menjadi dewasa. Kuat dengan segala cobaan hidup. Tegar dengan segala hantaman badai. Tenang dalam menghadapi masalah.
Biarkan mereka mengerti, Tuhan.  Biarkan mereka pahami bahwa aku akan menjadi kuat. Bahwa pikiran mereka tak sejalan dengan kenyataan. Kumohon, Tuhan.. buat mereka berhenti mengusikku. Biarkan aku tenang menjalani hidup.
Tuhan, biarkan kesalahanku larut dalam air mataku. Biarkan aku menyesalinya untuk hari ini saja. Biarkan aku kuat di esok hari. Tuhan, maukah Kau mengabulkan doaku untuk kali ini? Kumohon, hanya pada-Mu aku meminta. Aku mohon… kabulkanlah, Tuhan.. aamiin.

Cerpen: Obsesi


Obsesi

Aku berharap
Bahwa harapku terpenuhi
Berharap meninggalkan satu sisi
Itu harap yang penuh emosi
Harap bukan doa yang diresapi
Harapku adalah obsesi…

Aku tak tahu apa yang aku harapkan atas semua ini. Aku hanya bertanya, untuk apa aku hidup bila mereka sama sekali tidak menghendakiku? Untuk apa Tuhan memberiku nafas hanya untuk kekotoran yang menyelimutiku. Mereka menghinaku, memandangku dengan jijik, menganggapku tak selayaknya diberi hidup. Kenapa Tuhan tak bertindak saat aku mengorek-orek tempat sampah untuk mencari makanan sisa? Bukankah Dia yang Maha Segala bisa memberikan apapun, bahkan hanya sepotong roti tengik yang bisa kumakan tanpa mengais tempat sampah? Kenapa tak pernah Dia lakukan?
            Orang selalu bilang, Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu. Aku selalu memimpikan untuk meninggalkan dunia. Pergi ke tempat yang lebih layak kutinggali. Kenapa Tuhan tak mengabulkannya? Aku tak pernah mau bunuh diri, itu perbuatan tercela dan Tuhan tak akan terkesan akan hal itu. Aku selalu merasakan kelaparan yang teramat sangat menekan perutku. Memberontak memaksaku untuk mengisinya. Aku selalu berpikir, mungkin Tuhan akan memanggilku saat itu juga. Tapi ternyata, rasa perih yang mencabik perutku memaksaku untuk mengorek tempat sampah dan memakan segumpal nasi yang sudah tercampur dengan saus busuk. Sekali lagi hidupku berlanjut. Aku merasa Tuhan menginginkan aku hidup lebih lama. Hidup untuk sesuatu yang sudah direncanakannya? Mungkin rencana mencabut nyawaku saat aku keracunan makanan yang sudah bercampur dengan belatung.
            Namun aku selalu percaya –mungkin terpaksa percaya—bahwa Tuhan telah merencanakan keindahan dibalik kepahitan yang dialami hamba-Nya, begitulah yang aku dengar dari mendiang ayahku yang meninggalkanku dengan sejuta kepahitan hidup.
            TIIIIINNN
            “Woy!! Minggir dong! Gak tau apa orang mau parkir! Dasar gembel gak tahu diri, kerjaannya nyusahin orang aja!” seseorang meneriakiku dari dalam mobil mewahnya. Aku tak tahu mobil merk apa itu. Bukan tugasku untuk menghafal semua merk mobil mewah itu, aku tak pernah pantas –bahkan—hanya untuk mengetahui merknya.
            Seseorang berseragam datang menghampiriku dan membangunkanku yang sejak tadi terduduk di sebuah parkiran restoran. Dia tersenyum dan membimbingku menjauh dari mobil yang sacara tak sengaja aku halangi untuk parkir. “Maaf, Pak, bukannya saya mengusir, lebih baik Bapak berteduh di halte sana saja, ya! Ini untuk, Bapak.” Ucapnya seraya menyelipakan selembar uang ribuan ketanganku. Aku hendak menolak, aku bukan pengemis yang meminta belas kasihan orang lain, tapi dia sudah berlari meninggalkanku. Dengan perlahan aku berjalan menuju halte bus yang hanya dinaungi oleh dua orang pelajar perempuan berseragam putih abu-abu.
            Aku duduk diteras halte, menjulurkan kakiku, dan menyenderkan kepalaku pada bangku halte. Kedua remaja tadi bergidik melihatku dan duduk menjauh. Mungkin ngeri melihat penampilanku yang awut-awutan dan berbau busuk. Samar-samar aku mendengar mereka berbisik satu sama lain
 “…Cuma ngotorin tempat aja…”
            “…pengemis, baunya bikin jijik…”
            “…gak ada kerjaan lain apa? Ngemis doang kerjaannya..”
            “…bikin susah aja…”
            Aku tertegun, anak muda jaman sekarang mungkin sudah tidak memiliki tatakrama terhadap orang tua, tak pernah menghargai orang yang lebih tua darinya… Menghargai? Tentu saja aku tak akan pernah dihargai, aku kotor, gembel yang menyusahkan orang lain. Tapi aku bukan pengemis. Mereka salah menilaiku, aku bukan tukang minta-minta yang hanya meminta belas kasihan. Aku lebih memilih memakan nasi sisa dibanding harus mengemis meminta nasi hangat dengan lauk pauknya.
            Aku mengabaikan mereka dan kembali menikmati istirahatku. Memejamkan mataku dan mulai berandai-andai. Andai aku orang kaya, hidup mewah dengan segala kenikmatan duniawi, akankah aku sesombong mereka yang meludahiku saat aku memandang mereka, yang berjengit saat menatapku, atau yang berlari saat mencium bauku? Aku rasa tidak, aku jelas akan membantu para gelandangan sepertiku. Tapi itu hanya perandaianku saja. Andai aku menjadi orang kaya…
            Aku bangun dan mulai berjalan memerhatikan para pedagang asongan yang berteriak menjajakan dagangannya. Mentari mulai condong ke arah barat, mulai menggelapi bagian timur dunia. Kendaraan umum berlalu lalang saling berebut penumpang. Aku baru menyadari, hidupku sungguh tak pernah dalam ketenangan. Mungkin begini yang dirasakan para gelandangan lain. Sungguh menyedihkan. Tapi bagaimana rasanya mati?
            Andaikan aku sudah mati, tenangkah aku disana? Ya, aku pasti tenang sekaligus bahagia. Tuhan akan memberiku ganjaran atas kepahitan yang aku terima. Aku akan diberinya makanan yang enak-enak, hangat dan banyak! Bahkan aku akan mendapatkan minuman yang menyegarkan tenggorokanku. Aku bahkan akan tidur dikasur yang sangat nyaman dibanding kasur para orang kaya sombong itu. Ah. Aku benar-benar menantikan saat kematianku.
            Aku baru menyadari, keinginanku akan kematian sangatlah besar. Lebih besar daripada keinginan untuk mengisi sesuatu kepada perutku. Ini obsesi. Aku terobsesi untuk mati. Tapi aku tak berani mengambil tindakan. Tidak saat Tuhan masih mengutuk orang bunuh diri. Biarlah Tuhan mengatur segalanya. Mengatur tanggal kematianku yang cantik. Saat ini yang aku harus lakukan hanyalah beribadah. Agar Tuhan menyediakan tempat yang layak bagiku, lebih layak atas apa yang aku terima dari dunia yang busuk ini.
            Aku mengamati sekelilingku, bertanya-tanya dalam hati, berapa banyak orang yang terobsesi akan kematian juga? Berapa banyak orang yang muak akan hidup di dunia ini? Berapa banyak orang yang menganggap kematian lebih baik dari segalanya sama sepertiku? Mungkin ada banyak, dan mungkin salah satunya adalah orang-orang yang berdasi itu.
            “Mas, mau beli kue lapis?”
            Seseorang menarik ujung bajuku, aku berbalik dan mendapati gadis kecil yang sama lusuhnya denganku sambil membawa baki kue. Aku merogoh kantong celanaku. Masih ada uang seribu rupiah yang dijejalkan petugas keamanan tadi.
            “Seribu boleh?” tanyaku.
            “Boleh, Mas..” ucapnya manis. Kuulurkan uang seribu tadi dan mengamatinya membungkus dua kue lapis untukku. Sayang sekali gadis ini harus berjualan begini, bukannya bermain seperti kebanyakan anak seumurnya. Kenapa juga dia tidak sekolah? Ah, aku tahu. Masalah ekonomi pasti adalah penyebab utamanya.
            “Ini, Mas…” katanya seraya mengulurkan bungkusannya. Dia tersenyum lalu pergi. Aku menggigit kuenya. Enak. Beberapa orang memperhatikanku, mungkin heran –orang dekil, miskin, menyedihkan sepertiku kok bisa beli kue-- , tapi aku tak peduli. Toh, mereka juga tak pernah memperdulikan aku.
            Kembali aku menyusuri jalan. Melihat betapa megahnya kota ini. Memperhatikan kendaraan yang lalu lalang.  Aku berpikir, apakah Tuhan akan tahu bila aku berpura-pura tidak fokus menyeberang jalan dan menabrakkan diriku kepada bus yang lewat? Pasti Tuhan akan tahu.
            Aku kembali melangkahkan kaikiku. Melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi. Aku kembali berpikir, akankah Tuhan tau bila aku pura-pura terpeleset dari puncak gedung itu lalu mati? Lagi-lagi Tuhan pasti tahu. Apa yang tidak Tuhan ketahui? Dia selalu tahu. Bukankah dia yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar? Dia pun adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui. Dia pasti tahu segalanya. Ya…segalanya.
            Tiba-tiba aku merasa tenggorokanku gatal. Benar-benar gatal. Aku batuk untuk meredakan rasa gatalnya. Bukannya mendingan, rasa gatalku malah menggila dan aku terbatuk-batuk hebat.
            “Uhuk…uhuk…uhuk…”
            Rasanya ada sesuatu yang mendesak keluar dari tenggorokanku.  Aku batuk lebih keras lagi, setengah berharap sesuatu itu akan keluar.
            “Uhuk…uhuk…uhuk…”
            “Pak, bapak kenapa?” seseorang bertanya padaku. Aku melihatnya menggunakan kemeja biru panjang dan celana bahan hitam panjang. Pasti kerja di kantoran terkaku. “Sini, pak… duduk disini dulu” katanya seraya memapahku dan mendudukanku di trotoar jalan. Lalu dia berlari ke warung terdekat. Aku masih terbatuk-batuk. Aku usap-usap leherku untuk membuatnya reda.
            Orang tadi datang lagi dengan membawa sebotol air mineral. Dia membuka tutupnya dan menyodorkannya padaku. “Minum, pak! Biar batuknya reda..” katanya, ramah. Aku mengambilnya dan mulai meneguknya. Aku merasakan air itu melewati tenggorokanku. Dingin, menyejukkan, dan –ya, orang itu benar-- batukku mereda.
            “Enakan, pak?” tanyanya santun. Dia ikut duduk di trotoar bersamaku. Aku memperhatikannya sekilas dan mengangguk. Ternyata masih ada orang sebaik ini di Bumi. Ternyata masih ada orang berpangkat yang peduli terhadap sesamanya.
            Aku masih terbatuk-batuk kecil tapi tidak sehebat tadi. “Baru pulang kerja?” tanyaku.
            “Iya. Bapak tinggal dimana?” tanyanya
            “Saya? Saya tinggal disini. Di dunia yang diciptakan Allah” Jawabku. Dia tertegun sesaat. Mungkin heran, orang bertampang tolol sepertiku bisa bicara demikian. Lalu dia tersenyum.
            “Ya, dunia ini milik-Nya… Tak pantas kita berebut kejayaan disini seakan kita pemilik segalanya. Harta memang tak pernah menjamin…”
            “…Tapi harta dapat memberikan kehidupan” potongku.
            “Maksud bapak?”
            “Tidak ada seorang tolol pun di dunia ini yang menolak uang. Uang bermain saat ini. Kamu tak bisa hidup bila tak punya uang. Uang dapat membeli segalanya saat ini. Termasuk harga diri.” Jawabku panjang. Aku memperhatikannya, dia melihatku setengah tak percaya jawaban itu meluncur dari mulutku. Dia membuka mulut hendak memprotes.
            “Tidak--“
            “Jangan menyangkal! Banyak pelacur disini yang siap menjual kehormatanya. Menjual harga dirinya. Menjual segala kepercayaan yang orang tanam kepadanya. Menurutmu, untuk apa kamu bekerja sekarang? Jelas untuk uang bukan? Agar kamu bisa menyambung hidupmu, kan? Tak perlu menyangkalnya.”
            Aku melihat garis kelabu sekilas di matanya. Dia seperti kecewa sesaat atau mungin sakit hati. Dia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Matanya menerawang,aku yakin dia sedang berusaha mengakui bahwa ucapanku benar.
            “Ya, bapak benar” ucapnya santai. Aku meneguk lagi air minum yang diberikannya tadi.
            “Tapi tak semuanya seperti itu. Kamu berbeda. Harga dirimu tinggi, lebih tinggi daripada badut-badut berdasi itu. Kamu lebih berharga jauh lebih berharga daripada gedung-gedung pemakan tempat itu.” Kataku. Dia memperhatikaku lalu tersenyum. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Menyangkal bahwa dirinya berharga.
            “Siapa namamu?” tanyaku.
            “Sandi..” jawabnya.
            “Umurmu?” tanyaku lagi.
            “27, pak.” Jawabnya. Aku menerawang, saat aku berumur 27 apa yang aku lakukan? Bekerjakah aku? Tidak. Aku pasti sudah jadi gelandangan seperti ini. Saat ini usiaku mungkin sudah mencapai 40. aku tak tahu pasti. Aku lupa tanggal kelahiranku.
            “Pak, istri bapak dimana?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
            “Saya tidak punya istri. Tidak menikah” Jawabku santai. Ya, aku tidak menikah. Bayangkan bila aku menikah, apa yang akan kuberikan kepada keluargaku? Aku tak akan bisa bertanggung jawab.
            “Kenapa? Maaf bila saya lancang.” Tanyanya takut-takut.
            “Tidak apa-apa. Saya hanya takut tidak bisa bertanggung jawab.” Jawabku. Batukku sudah sepenunhya berhenti. Aku melihat ke langit yang menggelap. Sudah sore rupanya. Aku bertanya-tanya, berapa banyak waktu yang aku habiskan selama ini hanya untuk memungut makanan sisa? Pasti lama sekali. Sungguh tak terasa. Lalu aku bertanya kepada diriku lagi, kapan saat itu tiba? Saat Tuhan memanggilku ke tempat-Nya yang agung? Masih lama, kah?
            “Kamu sendiri apa sudah menikah?” tanyaku
            “Belum. Tapi Insya Allah akan.” Jawabnya sambil tersenyum.
            Diam menyelimuti kami. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Matahari mulai menghilang meninggalkan kegelapan di dunia. Aku meneguk air terakhir yang tersisa. Aku bangkit lalu memandang Sandi.
            “Sudah malam. Kamu pulang sana. Terima kasih untuk airnya..” ucapku ramah.
            “Bapak tinggal dimana?” tanyanya lagi
            “Sudah kubilang—“
“Tidak, pak. Kali ini saya serius. Dimana bapak tinggal? Kalau bapak mau, bapak boleh—“
“Tidak. Terima kasih. Kamu sudah begitu baik bagi saya. Saya tidak mau menyusahkan. Biarlah langit gelap ini menjagaku. Kamu pulanglah!”
Dia seperti ragu, tapi kemudian dia mengulurkan tangannya. Aku menjabatnya. Dia tersenyum dan lalu dia pergi meninggalkanku diselimuti kegelapan.

Pagi hari tiba. Aku bangun dan merapikan alat tidurku, secarik kain usang sebagai selimut dan sehelai kardus sebagai alas tidur. Toko yang terasnya aku tumpangi untuk tidur belum buka. Aku menyembunyikan alat kempingku di sudut toko lalu duduk bersila di teras toko lagi.
Aku tengah memikirkan tempat mana lagi yang akan kukunjungi hari ini, jalan mana lagi yang akan kutapaki, saat tiba-tiba perutku berkeroncong. Aku lapar. Kue lapis yang kemarin sudah habis kumakan. Tempat sampah mana lagi yang akan kudatangi? Aku mulai beranjak dari dudukku. Berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah ramai oleh para pedagang kaki lima.
Aku berjalan dan terus berjalan. Aku merasa kakiku yang mengendalikan diriku. Aku berbelok ke suatu gang sepi berjalan dengan perlahan. Berusaha menghemat sisa karbohidrat di tubuhku. Lalu aku sampai pada tempat yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Seperti sabana yang membentang luas. Untuk beberapa detik aku terkesima. Tempat apa ini? Surga, kah? Indah…luar biasa indah.  Ada pohon besar disana. Aku menutup mataku lalu membukanya lagi. Tempat ini nyata. Bagaimana mungkin aku bisa sampai kesini? Bagaimana bisa? Kakiku yang menuntunku, mungkin ini rencana Tuhan.
Aku mulai melangkah, membawa diriku mendekati pohon besar disana. Aku merasakan angin berhembus menerpa wajahku. Sejuk. Aku merasa seperti dilahirkan kembali. Aku duduk dibawah naungan pohon besar itu. Aku menghembuskan nafasku dan mulai terisak-isak. Entah mengapa tempat ini seakan menyadarkanku akan karunia Tuhan. Menyadarkanku bahwa hidup adalah salah satu karunianya. Bodohnya aku selama ini selalu mengutuk hidupku. Mengapa butuh waktu selama ini untuk menyadarinya? Aku memandang sekitarku. Menghembuskan nafasku lagi dan menghapus air mataku. Aku sendiri bingung kenapa aku bisa menangis. Aku sudah terlalu tua untuk menangis, tapi saat melihat tempat ini aku jadi tersadar dan merasakan sesuatu yang meluap memaksa untuk mendorong air mataku keluar. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku perlahan. Tak percaya selama ini aku terobsesi untuk mati. Rasa lapar yang tadi menyerangku kini hilang seketika.
Mulai saat ini obsesiku untuk mati aku batalkan. Aku akan mulai mengikuti garis kehidupan yang digambar oleh Tuhan. Membiarkan udara masuk paru-paruku dan lanjut hidup. Dan mulai menyukuri karunia Tuhan. Mengagumi ciptaan-Nya yang luar biasa mengagumkan. Aku menutup mataku perlahan,merasakan lembutnya angin mengusap wajahku. Lambat laun aku mulai tertidur..
Entah sudah berapa lama aku memejamkan mataku. Samar-samar aku mendengar suara seseorang memanggil. Aku juga merasakan tepukan halus di bahuku.
“Pak…bapak…pak…”
Aku membuka mataku. Cahaya yang langsung menerobos mataku membuat pandanganku sedikit kabur. Ku kerjapkan mataku berkali-kali dan melihat seseorang berjongkok di sebelahku. Kemeja putih panjang, celana hitam panjang, dan jam tangan silver yang dikaitkan di tangannya. Sandi.
“Sandi? Sedang apa kamu disini?” tanyaku seketika.
“Aku biasa kesini setiap sore, pak. Saya baru lihat bapak kesini..” katanya
“Iya. Saya baru tahu Tuhan menciptakan tempat seindah ini..” kataku seraya menghembuskan nafas.
“Bapak sudah makan?” tanyanya.
“Tempat apa ini?” tanyaku.
“Namanya Putih.” Katanya sambil menatap tempat ini.
“Apa?” tanyaku bingung. Sabana ini namanya Putih? Apa maksudnya. Karena tempat ini sama sekali tidak memiliki warna putih yang mendominasi.
“Ya, tanah Putih. Karena saat orang datang kesini untuk pertama kalinya, dia akan merasa seperti…”
“…dilahirkan kembali.” Potongku lirih.
“Ya, bapak merasakan efeknya? Aku masih ingat ketika pertama kali aku kesini. Aku menangis. Saat itu usiaku 23 tahun.”
“Ya, aku juga.” Kataku tertegun
“Bapak juga menangis?” tanyanya
“Iya, tempat ini mengingatkan aku akan dosa. Aku berpikir untuk berhenti melakukan dosa itu sekarang.” Kataku sengaja tak menceritakan obsesiku akan mati yang dulu aku pegang teguh.
Kami larut dalam diam. Memandangi sabana yang luas ini. Aku menarik nafas panjang lagi. Tempat ini membuat aku ingin terus menghisap dalam-dalam udara. Aku tidak ingin pergi. Aku ingin disini selamanya sampai waktuku untuk mengagumi karunia Tuhan habis. Aku ingin selamanya disini.
“Sandi, Tuhan itu Maha Segalanya. Saya tidak pernah merasa sebahagia ini sepanjang hidup saya. Saat ini saya hanya ingin disini, mengargai setiap jengkal anugerah Tuhan yang menakjubkan ini. “ aku berhenti menarik nafasku lagi. Sandi diam. Hanya mendengarkan.
“Saya tak bisa berpuisi. Tapi tempat ini benar-benar membangunkan saya akan mimpi yang salah selama ini. Menjelaskan segala hal yang tak saya ketahui selama ini. Tempat ini menyembuhkan kebutaan saya akan hidup. Saya…saya merasa bodoh, Sandi. Saya tolol selama ini terobsesi dengan hal yang seharusnya tak saya obsesikan. Saya seharusnya menghargai hidup bukan malah mencercanya seakan hidup adalah musibah. Saya tolol, Sandi. Tolol…”
Sandi memandangku lekat tapi tak bicara apa-apa. Tangannya terangkat, namun tak sampai sedetik dia menurunkannya lagi. Dia ragu untuk mengelus bahuku. Aku memandang cakrawala yang menggelap. Menarik nafasku lagi dan melanjutkan,
“Hidup ini terlalu banyak rintangan. Kekalahan membayangi, sementara kemenangan seakan terlalu jauh. Hidup ini terlalu banyak menyimpan dusta. Terlalu banyak menggantungkan harapan. Manusia seolah dipermainkannya. Padahal manusia itu sendirilah yang mempermainkan hidupnya. Tidak sadar Tuhan pasti siap membantu. Terlalu arogan untuk meminta. Padahal Tuhan telah menyediakan sejuta bahkan lebih kebahagiaan. Asalkan kita tak cukup bodoh untuk mempasrahkan diri akan keadaan, Tuhan akan mempermudah jalan.
“Manusia akan sadar setelah mereka disadarkan. Terlalu sedikit manusia yang sadar dengan sendirinya. Saya sendiri disadarkan , Sandi…disadarkan! Tuhan begitu luar biasa baiknya. Sangat baik…sangat baik.”
Matahari kembali meninggalkan bagian timur dunia. Membuatnya gelap. Bintang mulai terlihat, menggantikan sang surya bertugas memberikan penerangan.
“Sudah malam, Sandi. Kamu pulanglah.” Kataku tegas.
“Bapak akan pulang bersama saya hari ini dan seterusnya. Tinggallah bersama saya. saya tinggal sendirian di kontrakan. Bapak, saya mohon jangan menolak lagi. Saya yakin ini salah satu jalan yang diberikan Tuhan untuk bapak lewat saya.” Sandi meratap. Tangannya memegang bahuku. Aku menatapnya dalam gelap. Anak ini sungguh merupakan salah satu karunia Tuhan di dunia yang kelam ini. Seandainya ini memang takdir-Mu, Tuhan, saya mohon berkahilah.
Aku berdiri dipapah Sandi menuju istananya yang sederhana. Aku benar-benar merasa seperti dilahirkan kembali. Terima kasih untuk segalanya, Tuhan. Obsesiku saat ini adalah selalu menyukuri karunia-Mu. Namun bila saat itu tiba, saat Engkau menjemputku ke istana-Mu yang agung, aku tak akan menyambutnya dengan luapan kegembiraan seseorang yang putus asa. Kini aku akan menyambutnya dengan damai. Dengan ridho-Mu.

Aku berharap
Aku bermimpi
Aku berangan
Aku berandai

Aku berpikir setiap saat
Bagaimana cara bulan menggantung di sana setiap saat
Karena aku ingin seperti dia
Berdiri sendiri mengelilingi kehidupan

Aku tidak ingin peduli pada kenyataan
Aku hanya ingin berangan
Berandai-andai melewati hari esok tanpa menjalaninya
Berharap aku bisa hidup sesuka hatiku
Tanpa duka, tanpa derita, tanpa...cinta

Aku berharap aku tak pernah mempunyai rasa
Berharap tak pernah merasakannya
Berharap aku bisa membuangnya sesuka hatiku
Cinta pelahan-lahan melumpuhkanku

Aku lelah selalu berdiri di belakang
Berdiri dengan kelumpuhan
Aku lelah selalu kalah
Menyerahkan mimpiku begitu saja

Aku ingin bebas
Tidak peduli pada cinta dan rasa
Aku hanya ingin menjalani hidup dengan damai
Tanpa duka, tanpa derita, tanpa cinta

Bahkan ketika aku punya cinta pun
Dunia seakan menendangku
Tidak menerima orang lumpuh
Mengacuhkan orang yang tak bisa apa-apa dengan cintanya
Menertawakanku...

Aku ingin melupakan semuanya
Melupakan bagaimana aku bertahan karena cinta
Melupakan bagaimana aku berharap akan cinta
Melupakan bagaimana aku menjadi bodoh karena cinta

Aku ingin dia, kamu, mereka
Merasakan bagaimana menjadi aku
Aku ingin kalian terluka seperti aku
Aku ingin menertawakan kalian
Seperti kalian menertawakanku

Aku berharap
Aku bermimpi
Aku berangan
Aku berandai bisa melakukannya
Tapi nyatanya karena cinta aku tak pernah bisa melakukannya.

Banyak yang tau lagu ini kayaknya :') walaupun jadul tapi tetep ngenes di hati kan, ya? :'D
Gue suka banget lagu ini :D Jadi pengen nyanyi deh~
Eh, dari pada dengerin gue nyanyi mending dibaca lirik lagu yang menyayat hati ini, ya!

Without You - Mariah Carey
No I can't forget this evening
Or your face as you were leaving
But I guess that's just the way
The story goes
You always smile but in your eyes
Your sorrow shows
Yes it shows

No I can't forget tomorrow
When I think of all my sorrow
When I had you there
But then I let you go
And now it's only fair
That I should let you know
What you should know

I can't live If living is without you
I can't live I can't give anymor
I can't live If living is without you
I can't give I can't give anymore

Well I can't forget this evening
Or your face as you were leaving
But I guess that's just the way
The story goes
You always smile but in your eyes
Your sorrow shows
Yes it shows

I can't live If living is without you
I can't live I can't give any more
I can't live If living is without you
I can't give I can't give anymore 

Haloo semuanya gue kembali dengan membawa sesuatu :D
Semalem pada nonton Indonesian Idol gak? Wah rugi kalo yang gak nonton! kenapa rugi? Soalnya Dion-Yoda-Febri nyayi lagu SM*SH I Heart You! Gilaaa!! Gokil banget gak tuh? Masa tampang rocker kayak Yoda nyanyi lagu Boyband? Pasti diantara kalian ada yang ngira penampilan mereka semalem ancur banget atau sejenisnya. Tapiiiiii tunggu dulu! Jangan asal beragumen dong! Asal kalian tau aja, penampilan Trio Kece Dion-Yoda-Febri semalem ini bener-bener LUAR BIASA!! siapa yang setuju sama gue?? Wohooooooo!! banyak yang setuju ya!
Masih ada yang gak percaya semalem mereka tampil LUAR BIASA? silahkan download MP3nya di http://dc361.4shared.com/download/1405430111/ba416c56/Yoda%20Febri%20Dion%20Indonesian%20Idol%202012%20-%20I%20Heart%20You.mp3?tsid=20120505-050448-36c1f110

atau yang pengen liat muka Kece mereka juga bisa liat videonya di http://www.youtube.com/watch?v=2FAx3WFu938

Okeee jadi, next time kita tunggu lagi kejutan dari mereka! :D


Aku hanya seorang gadis

Aku seorang gadis biasa
Perempuan yang ingin merasakan cinta
Wanita yang ingin mendapatkan surga
Hawa yang mengharapkan adam disisinya

Aku hanya gadis biasa
Yang tak semua harapnya tercapai
Yang tak semua angannya tergapai
Hanya dalam mimpi aku terbuai

Aku hanya gadis biasa
Perempuan yang mengagumi seseorang
Wanita yang bersembunyi di balik karang
Hawa yang hilang dalam cahaya terang

Aku hanya gadis biasa
Yang merasakan sakit hati
Yang merasakan kekecewaan diri
Yang merasakan luka itu benar-benar perih

Aku hanya gadis biasa
Perempuan yang merasakan rindu
Wanita yang menyenandungkan lagu syahdu
Hawa yang menginginkan adam untuk bertemu

Aku hanya gadis biasa
Perempuan yang tak ingin disakiti
Wanita yang ingin dikasihi
Hawa yang ingin dicintai

Aku Tak Menyesalinya

Lagi.. Gue bikin sepenggal puisi hidup. semoga kalian suka :)


Aku Tak Menyesalinya...

Aku tak menyesali...
Bagaimana bumi berputar
Bagaimana Air mengalir
Atau bagaimana cahaya merambat

Aku mensyukuri apa yang aku terima saat ini
Aku menikmati curahan karunia yang aku terima

Tentu saja aku pernah merasa putaran dunia tak searah denganku
Atau aliran air terlalu deras untukku
Bahkan rambatan cahaya tak begitu terang untuk menghilangkan gelap di sekitarku

Aku pernah merasa putus asa dengan apa yang aku terima
Merasa tak pantas diberikan karunia
Merasa rendah..
Bahkan untuk tersenyum aku merasa tak dihargai

Tapi aku tahu...
Perlahan dunia mulai berputar searah denganku
Aliran air mulai menenang
Dan cahaya mulai merambat lurus

Ini bukan karena mereka mulai mengikuti hatiku
ini karena aku!
Aku yang terus bergerak
Berputar searah dengan dunia
Mengikuti aliran air
Dan merangkak menuju cahaya

Aku tak boleh berpangku
berharap sesuatu akan berubah
Tapi akulah yang harus merubahnya!
Aku yang harus menerima hidup
Mulai menyadari bahwa hidup adalah anugerah

Bahwa tak berguna aku menyesali
Bagaimana bumi berputar hingga menjerumuskan aku kedalam kehidupan yang menguras hati, pikiran, dan air mataku
Menyesali bagaimana air mengalir hingga menghanyutkanku akan kehidupan yang terjal
Atau bagaimana cahaya merambat hingga membuat tantangan kehidupan itu terlihat jelas.

Aku harus mulai menerima
Menjalaninya dengan hati
Mulai melangkah dengan ikhlas
Mengikuti setiap goresan kehidupan

Biarkan cahaya menuntunku melewati gelap
Berjalan dengan damai diatas kelamnya dunia
Karena aku tahu...
Saat aku mulai mengikuti jalan kehidupan yang telah digoreskan, aku akan mulai tersenyum

Mulai mengerti mengapa harus ada air mata
Mengapa harus ada kata lelah
Mengapa harus berusaha
Mengapa harus ada pengorbanan
Mengapa harus ada pilihan
Atau mengapa harus ada kehidupan

Karena Tuhan akan memberikan kebahagiaan

Air mata hanya setitik penjelasan tentang rasa
Lelah adalah segenggam penuturan atas panjangnya jarak yang aku tempuh
Usaha dan pengorbanan adalah pilihan
Pilihan untuk menentukan segalanya

Dan mengapa harus ada kehidupan?
karena kehidupanlah yang menyediakan segalanya.
Aku hidup dengan bahagia
Kebahagiaanku diwarnai dengan air mata, kelelahan, usaha, pengorbanan, dan pilihan.

Aku tak menyesali...
Bagaimana bumi berputar
Bagaimana air mengalir
Atau bagaimana cahaya merambat

Karena saat ini aku tengah melihat kebelakang
Melihat bagaimana jejak yang aku tempuh terpeta dengan jelas dibelakangku
Aku berdiri melihat masa lalu, masa kini, san masa depan
Mulai melangkah mengikuti putaran bumi, aliran air, dan rambatan cahaya

Aku tak lagi pernah menyesali karunia Tuhan..
Terima kasih atas anugerah-Mu, Tuhan..
Aku tak akan pernah menyesalinya..




Bogor, 17 Maret 2012

Anita..

Aku mengerti, hidup bukan sebuah kenangan. Hidup adalah tuntutan untuk sampai pada tujuan. Bukan sekedar melihat matahari dan merasakan hangatnya, atau melihat bulan dan meresapi sinarnya. Hidup adalah tuntutan, mencari dan mengerjakan. Berbuat dan bertanggungjawab. Mengabdi dan mensyukuri nikmat. Hidup penuh tekanan dan kenikmatan. Tuhan memberikan pilihan, kenyamanan atau kedamaian.

Hidup bermuara pada tujuan. Mengejar mimpi melawan hambatan. Tuhan menyediakan kesempurnaan dengan peluh sebagai bayaran..

Cerpen: Telaaaaat!

Haloooo :D I'm the pretty lady is back! muehehe, kali ini gue bawa cerpen yang bisa dibilang miris. tapi gatau deh menurut kalian gimana. semoga tanggapak kalian wahai para pembaca yang budiman baik untuk meningkatkan hasil karya tulis gue :)
okay, lets read it! harap tinggalkan komentar bagi kalian yang peduli :)



Cek buku… lengkap..
Cek bahan praktek… lengkap…
Novel temen… ada..
Fuih, lengkap semua tinggal sarapan deh, batinku. Jam 06.00, masih banyak waktu buat sarapan. Pokoknya hari ini gue ga boleh telat! Ada praktek biologi. Kasihan kelompok gue, kalo gue malah nangkring di gerbang dan gak ikutan praktek gara-gara gak boleh masuk.
Selesai sarapan aku mengecek kembali bawaanku, takut ada yang ketinggalan. Yep! Masih lengkap.
“Ma, Nita berangkaaaat… assalamualaikum..”
Pagi ini cerah, tak seperti biasanya yang selalu mendung karena musim hujan. Aku melangkah dengan santai karena waktu masih menunjukan pukul 6.20, yang artinya aku aman dan tak akan terlambat. Sampai di terminal, tak kulihat satupun angkot yang berseliweran.mungkin masih pagi, sehingga belum ada angkot yang datang. Akupun dengan santainya menunggu.
Waktu menunjukan pukul 6.30, aku masih menunggu. Aku yakin aku tidak akan terlambat. Tapi masih belum ada angkot yang lewat. Beberapa menit kemudian, temanku, Nurul datang. Kami saling bertegur sapa.
Pukul 6.35, dengan pikiran yang semerawut, aku tetap menunggu transportasi umum yang diandalkan sebagian besar masyarakat Indonesia itu datang. Kulirik Nurul disamping, mulutnya komat-kamit tak karuan. Panik, takut terlambat. Aku merasakan hal yang sama. Bakal telat, nih gue..
Pukul 6.40… Mampuuuussss!!! Telat gue telaaat!
“Nit, kita naik ojek aja, yuk! Patungan. Mau gak?” Nurul mengusulkan. Aku dilema berat. Antara uang jajan yang berkurang, atau keselamatan mukaku yang kece ini agar tidak malu karena telat. Aku berpikir, sekarang sudah pukul 6.45, percuma saja kalau aku naik ojek. Toh, bakalan telat juga. Tapi mungkin masih ada harapan. Ya, ampun bingung! Naik ojek atau enggak? Naik..enggak..naik..enggak..naik..enggak..naik… Ya TUHAN BERI AKU PETUNJUK-MUUUUU!!!
Biiiipp…
Seakan Tuhan mendengar doaku, sebuah kendaran berwarna biru beroda empat, dan dipinggirnya terdapat tulisan ‘Angkutan perkotaan’ datang menghampiri kami dengan membawa seribu kelegaan. Tak ada uang jajan yang berkurang. Hanya saja kata ‘telat’ masih mengantui kami.
Aku memberanikan diri melihat jam digital pada ponselku. 6.50… yaah, aku akan datang terlambat. Selamat pagi dunia, ini aku salah satu pendudukmu yang akan menanggung malu hari ini…
Aku membuka novel yang aku pinjam dari temanku, Sarah. Mencari pembatas buku, dan mulai membaca lagi. Novel ini sedikit mengilangkan kegelisahanku tentang waktu dan sekolah (ngerti kan maksudnyaaa?). Targetku, novel dengan 380 halaman ini, selesai hari ini. Makanya aku mepercepat kecepatan membacaku. Tinggal seratus halaman lebih. Biasanya jam istirahat juga kelar. Gak enak kalau minjem lama-lama. Takut rusak, atau bahkan hilang. Aku itu orangnya ceroboh bukan main. Rasanya, segala hal yang aku pegang jadi rusak. Jadi aku berharap, novelnya Sarah ini bisa aman, selamat sentosa, sehat walafiat ditanganku.
“Nit, jam berapa?” Tanya Nurul. Kulirik lagi jam digital pada ponselku. 7.01… lemas rasanya. Walaupu aku sudah tahu, kalau aku akan sampai sekolah pasti terlambat, tapi rasanya sesak saat aku tahu tak ada lagi peluang bagiku untuk tidak sampai terlambat.
“Jam tujuh, Rul..”
“Jam tujuh?!! Mapus gue! Jam pertama gue, kepsek yang ngajar!!” Nurul terlihat frustasi, beda denganku yang sudah frustasi sejak awal. Aku tersenyum miris. Jam pertama kepsek yang ngajar? Gila! Mampus aja dia! Untung pelajaran pertama gue yang ngisi pak Eza (nama disamarkan) guru matematika yang paling baik sejagad!
Pukul 7.15 aku sudah sampai di pertigaan Seuseupan. Tinggal satu kali lagi naik angkot, maka aku akan sampai ke sekolah. Disini sepertinya tinggal aku pelajar satu-satunya. Keadaan ini membuat aku bertambah tegang. Angkot melaju dengan agak cepat, kulihat supirnya melihat kearahku. Mungkin kasihan melihatku yang gelisah karena sudah terlambat sehingga dia mempercepat laju angkotnya.
Angkot berhenti, ada yang naik anak sekolah juga. Setelah kulihat ternyata teman sekelasku, Andre. Gue ada temen.. gue ada temeeeeeen!!! Aku girang bukan main, berarti aku bukan satu-satunya anak yang datang terlambat.
Laju angkot semakin melambat, ternyata aku hampir sampai. Saat angkot benar-benar berhenti, aku turun dan berlari menuju gerbang sekolah. Dikunci! Sial benar aku. Selain aku dan Andre, ada juga anak kelas 10 yang nangkring didepan gerbang.
Dari pada kayak orang susah nangkring depan gerbang, mendingan gue baca novelnya Sarah di teras orang.. batinku. Akupun beranjak dari gerbang sekolah menuju salah satu rumah warga disitu yang kebetulan tak memiliki gerbang, sehingga aku bisa duduk disana dan melanjutkan membaca. Aku terpaksa harus menunggu sampai pukul 8.30. karena biasanya, gerbang baru dibuka kembali pukul 8.30 bertepatan dengan jam pelajaran ke 4. Praktek biologi ada pada jam pelajaran ke 4 sehingga aku masih bisa mengikutinya. Syukurlah, karena aku sudah membawa bahan praktek untuk kelompoku. Sayang kalau tidak dipakai.
Masih pukul 7.35, aku punya banyak waktu untuk menyelesaikan bacaanku. Tiba-tiba ponselku bergetar. Ada sms masuk.
From Atika [081546287***]
Nita ada dimana?

To Atika [081546287***]
Di depan, koy. Telaaat L gak boleh masuk..

Aku menekan tombol send, dan melanjutkan membaca. Aku membayangkan, pasti Atika –teman sebangku ku—dan teman-teman yang lain sedang merasa bosan. Pak Eza itu guru paling baik, sekaligus paling ngebetein juga. Hahaha. Lagian pagi-pagi sarapan matematika. Ada untungnya juga aku terlambat, jadi gak perlu masuk pelajaran pak Eza. Muehehehe, jangan ditiru, yaa! ;)
Drrtt…drtt..drrt… ponselku kembali bergetar.
From Atika [081546287***]
Terus gimana dong?  Emang gak boleh masuk sama siapa?

To Atika[ 081546287***]
Gerbangnya dikunci. Bu Esti paling yang ngelarang.

Klik send. Drrtt..drtt… lagi-lagi ponselku bergetar.
From Akbar [083875841***]
Enggak boleh masuk bukan?

To Akbar [083875841***]
Iyaa L

Selanjutnya banyak SMS masuk dari Akbar, Atika, dan Bili. Ucapan turut prihatin dari mereka sedikit mebuatku terkekeh. Mereka paling bisa membuatku tertawa. Apalagi SMS dari Bili.
From Bili [08998558***]
Emak yang baik, kok kesiangan? Eheheehe…

Nama panggilan yang khusus teman-teman berikan kepadaku adalah ‘emak’ dari sekian banyak nama bagus nan indah dimuka bumi ini, yang mereka pilih adalah ‘emak’. Kenapa harus emak? Kenapaa?? KENAPAAA?? Okee, aku udah mulai error.
Aku baru ingat, salah satu teman dekatku, Maya belum mengucapkan kata-kata turut prihatin atas terlambatnya aku ke sekolah sehingga harus di tambat di depan gerbang. Gue sms aja deh..
To Maya [083811277***]
Tega lo gak nengokin gue..

Sambil terkekeh, aku melanjutkan membaca novel, sambil sesekali membalas sms teman-temanku. Aku menengok kearah bangunan sekolah. Kelasku tampak jelas memanjang di lantai dua. Pak Eza, meninggalkan kelas.
From Maya [083811277***]
Emang lu dimana?

Tuh kan, Maya gak sadar aku terlambat!

To Maya [08311277***]
Di luar, kesiangan gue. Liat ke jendela deh. Buruan!

Akupun memperhatikan jendela samping kelasku. Tiba-tiba ada sesosok, eh dua, eh, tiga, eh banyak! Aku tidak tahu ada berapa orang yang nongol di kaca sambil dadah dadah kepadaku. Hahaha, dasar norak! Masa orang telat di dadahin -___-. Akupun jadi tertawa. Ada-ada aja temanku ini.
Lalu dengan serentak mereka berhamburan kembali ke tempat duduk masing-masing. Pak Eza sudah kembali. Aku melirik jam pada ponselku. Pukul 8.00. setengah jam lagi aku akan bergabung bersama mereka.
Tiba-tiba gerbang sekolah dibuka. Aku bangun dan melihat beberapa kakak kelas keluar. Aku kira, aku beserta siswa yang telat lainnya akan dimasukan. Ternyata Cuma kakak kelas yang numpang lewat mau fotocopi.
Aku kembali duduk dan melanjutkan membaca. Kubetulkan letak kacamataku yang sudah mulai turun.
“Dek, kok gak masuk? Telat, ya?!” Tanya salah satu dari gerombolan kakak kelas laki-laki itu. Aku menggeram. Udah tau telat masih nanya! Batinku geram.
“Pulang aja, dek! Percuma nunggu juga, gak bakal dimasukin!” ujar mereka sambil tersenyum. Aku balas tersenyum dan menjawab “Gak bisa kak. Hari ini ada praktek. Jadi harus ikut, gak bisa pulang.”  Balasku sambil tersenyum kecut.
Aku bisa mendengar mereka sling berbisik..
“Anak IPA woy, ga mungkin cabut.”
“Dia pake kacamata. Yang bener aja lu nyuruh dia balik.”
“Emang kalo gue pake kacamata juga, gue bakalan rajin kayak dia?”
Kakak kelas yang bodoh! Kok bisa-bisanya mereka ngikutin pelajaran kalo otaknya dangkal begitu. Aku kesal! Gimana enggak? Lagi-lagi kacamataku disangkutpautin dengan segala hal! Maraaaaaahh!!! Bagiku kacamata itu keren, ga tau deh ya kenapa orang-orang selalu mengartikan bahwa kacamata = cupu!
Fokus! Aku harus baca novel lagi. Jangan peduliin kakak kelas silan yang sok itu!
Pukul 8.30, gerbang dibuka dan ak masuk kelas diikuti dengan tepuk tangan riuh dan taburan bunga (Lebay gue lebaaaaayyy!).
“Emaaak!” teman-temanku tercinta tersayang tersanjung tersandung *eh menyambutku denagn suka cita. Seperti Pinokio yang kembali bertemu ayahnya…
Aku membereskan barang-barangku dan mengikuti yang lain ke lab IPA. Aku akan mempelajari kandungan gizi pada makanan. Aku sudah membawa larutn amilum, sedangkan Atika membawa larutan glukosa. Kelompokku terdiri atas 7 orang. Aku, Atika, Rani, Maya, Fikri, Rakha, dan Resti.
Aku mulai mnerjakan apapun yang diperintahkan guru biologiku yang yaaaah bisa dibilang the killer teacher.
“She is back! You-Know-Who is back! The dark lord is back!” Fikri nyeloteh gak karuan saat guru Biologiku lewat.
“Lha? Voldemort dong? You know who mah voldemort. Dia mah bukan You Know Who (Kamu-Tahu-Siapa), tapi You No Poo (Kamu Tidak bisa Berak)”  candaku membalasnya.
Stelah beberapa lama kemudian, larutan amilum dan glukosa yang sudah diuji coba, diletakan pada rak tabung reaksi. Larutan glukosa berubah warna dari bening menjadi jingga papaya. Sedangkan amilum dari putih susu menjadi biru pekat.
“Mak, ini yang warna oranye (re: oren) apa?” Tanya Rani.
“Oh, itu glukosa.”
“Kalo yang biru?”
“Itu amilum.”
“Kalo yang item?” tanyanya lagi iseng. Ha? Item? Perasaan ga da larutan yang warnanya item deh. Hehe, iseng ah kataku.
“Yang item? Itu si Rakha!” hahahah, anggota kelompokku jadi tertawa. Rakha anggota kelompokku Cuma bisa bengong hingga akhirnya ikutan nyengir juga.
Stelah praktek selesai, aku mengemasi alat tulisku dan kembali ke kelas. Haaaah.. nyaman rasanya duduk dibangkuku dan bukan di teras orang. Ikut pelajaran dan bercanda sama teman. Walau terkadang rasa bosan selalu datang saat jam pelajaran berlangsung, tapi rasa ini lebih nyaman dibanding nangkring di gerbang menunggu jam pelajaran ke empat datang J
Aku gak mau telat lagi. Aku gak mau bengong kayak orang bego di depan gerbang. Aku gak mau digodain kakak kelas iseng lagi. Aku mau datang tepat waktu dan memulai pelajaran dengan hati yang lebih tenang. Bukan dengan hati yang gusar karena kesiangan! Don’t be late, guys.. soalnya telat itu rasanya kayak, kayak dipaksa makan kue lapis, meluncur pake papan segede betis, nyampe ruang guru yang paliiiiiiing sadiss.

Haloooow :D
gue mau cerita tentang guru matematika di sekolah gue. Sebut aja bapak Eza.
Nah, si bapak Eza ini orangnya ga begitu galak --biasanya guru matematika galak kan, yah?-- malah bisa dibilang baik. PR jarang di periksa, ulangan openbook, ga pernah ngasih tugas yang berat. kurang baik apa lagi coba dia? Tapi sayangnya, pak Eza juga kadang nyebelin. Nih, kalo kita ga ngerjain PR, si bapak bakalan nyuruh berhitung angka kelipan bergiliran, yang salah sebut, suruh ngerjain PRnya langsung didepan kelas! Tau angka kelipatan kan? aduh, bagi yang ga tau gue contohin aja deh. misalnya pak Eza bilang gini "Sebutkan angka kelipatan 3....mulai!!" nah, dari yang paling ujung itu nyebut deh mulai angka 3 sampe seterusnya giliran sampe yang duduknya paling belakang. "3..6..9..12..15..18..21..24...".
pernah itu gue tanya, "Pak, kenapa sih anak-anak suka di suruh berhitung" dia jawab dengan tampang yang sok ilmuan dan mata berbinar-binar *lebay yee* "Itu buat meningkatkan daya konsentrasi anak. kalo ga konsen pasti salah sebut angka, kan?" oh, iyaa juga pikir gue. tapi nyebelin ga sih, kalo tiap pelajaran matematika lo disuruh ngitungin angka kelipatan? mending kalo kelipatan 3 atau 4. lha kadang nyampe kelipatan 6,7,8,9,11!! capek hati dan pikiran, brooo! capek pikiran, yaa jelas elo mikir mulu angka berapa selanjutnya. capek hati? ya iyaa lah! stess ga sih kalo belom ngerjain PR dan disuruh berhitung dengan tarohan harga diri yang dipermalukan kalo sampe salah sebut angka, kita bakalan ngisi jawaban di papantulis langsung! mending kalo yang pinter, lha yang enggak?? emang salah kita sendiri sih ga ngerjain RP dan berujung ngerjain didepan kelas. tapi ya namanya pelajar pasti ada kesibukan lain sampe ga bisa nyelesain PR kan.
Oyaa, pak Eza ini juga pernah dimintain saran anak murid buat ikutan lomba olimpiade matematika, lho! dan jawabannya adalaaaaaah..... "Kumpulin aja semua anak di lapangan, terus suruh menghitung angka kelipatan!" buset ga tuh! anak murid sebanyak itu suruh ngumpul dilapangan dan...berhitung! Waaah, kacau ini orang. Tujuannya sih bagus, buat nyari anak yang konsentrasinya bener-bener bagus! Cara yang tepat, sir...
Ini guru sebetulnya agak kocak. cuma kadang ga bikin lucu sama sekali. Pernah nih, pas ngawas Ulangan Kenaikan Kelas, pak Eza ngawas kelas 10, kalo tiap ulangan pasti tas anak-anak tuh disuruh ditaro didepan deket meja guru, alesannya sih biar ga bisa nyontek. nah, ada anak cewek yang pake tas gendong beroda (Tau kan? yang anak SD suka pake? yang mirip koper..) dia simpen di depan, terus pak Eza ini merhatiin tasnya. udah cukup lama ulangan berlangsng, pak Eza ngambil tas beroda itu, terus dia tarik sambil bilang "Dadaaah, bapak pergi dulu, yaa!" Hahahaha! kacau ini guru. anak-anak yang lagi ulangan jadi pada ketawa kan? mungkin sebagian anak yg lagi ulangan ribut karena ketawa, atau memanfaatkan momen untuk hal lain, ga tau deh yaaa. Muehehehe...
Yaaa, gitu deh cerita tentang guru matematika gue. seriosly, dia itu guru yang baik kok. Baiiiiikk banget...

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

anita agustina. Diberdayakan oleh Blogger.