"),

Blogger Template by Blogcrowds

.

Cerpen: Bidan yang Sakti



Angin berhembus dengan perlahan. Membelai setiap lekuk daun mangga. Di sebelahnya rumpun bambu bergoyang-goyang dengan anggun, seakan ingin menyampaikan selamat datang kepada siapapun yang lewat. Tepat di bawah rimbunnya bambu-bambu itu, sekelompok bocah kecil tengah duduk berkumpul membuat sebuah lingkaran.
"Katanya dia datang hari ini. Kata Pak Kades dia sakti mandra guna. Lebih sakti dari Mak Jujum!" kata Numa, penuh semangat. Anak-anak lain menggelengkan kepalanya, tak percaya.
"Bapakku bilang, orang itu berbahaya!" ucap Bima, anak paling kecil di antara mereka.
"Omong kosong! Kalau bahaya, untuk apa Pak Kades mendatangkannya? Ngaco kau, Bim!" sangkal, Numa.
Seorang anak laki-laki, Fadil namanya, berlari mendekati gerombolan bocah kecil yang tengah asik bercerita itu. "Dia sudah datang! Dia sudah datang!" teriaknya.
"Benarkah?" kata Numa.
"Betul! Sekarang dia akan melaksanakan asosiasi di balai desa!"
"Asosiasi?" Bima mengerutkan keningnya.
"Iya! Bodoh benar kau, Bim. Itu lho, semacam penyuluhan." ucap Fadil.
"Sosialisasi, bodoh! Rupanya percuma orang tua menyekolahkanmu," kata Numa seraya bangkit berdiri. "Ayo, kita ke sana!" ajak Numa pada semuanya.
Lalu secara serempak mereka meninggalkan tanah kosong dengan rimbunan rumpun bambu yang mengucapkan selamat tinggal.
*
Di balai desa banyak orang berkumpul dengan celotehannya masing-masing. Mereka duduk di bawah naungan tenda yang disiapkan petugas desa. Pak Kades duduk dengan senyumannya yang khas. Karismanya menarik setiap warga untuk datang berkunjung, menyaksikan penyuluhan yang bahkan sebagian besar warga tak tahu apa manfaatnya.
Seorang wanita cantik duduk di sebelah Pak Kades dengan anggun, melemparkan senyum kepada setiap mata yang melihat ke arahnya.
"Amboi, cantik nian! Itu bidannya? Aku yakin, Mak Jujum akan kalah pamor!" ucap seorang pria di antara kerumunan warga.
Wanita cantik nan anggun itu menganggukan kepalanya ke arah Pak Kades lalu berdiri di atas panggung kecil dengan karpet merah menutupi lantainya.
"Assalamualaikum warrahmatullahiwabarakatuh." katanya memulai.
"Waalaikumsalam warrahmatullahiwabarakatuh." jawab semua warga secara serempak.
"Perkenalkan nama saya Yunda. Saya akan membantu ibu sekalian untuk melahirkan. Saya, Insya Allah, akan membuat desa ini menjadi lebih baik lagi. Ibu sehat, bayi selamat!" katanya, tersenyum senang. Warga mengangguk-anggukkan kepala, seakan paham dengan apa yang disampaikannya.
"Tentu saja saya tidak akan bekerja sendiri. Dengan senang hati saya akan menerima bantuan dari Mak Jujum."
"Bah! Siapa yang sudi!" sebuah suara memecah keseriusan warga. Mak Jujum bersandar pada sebatang pohon dengan disangga sebuah tongkat. Matanya menatap lurus pada Bidan Yunda. Sirih yang dikunyahnya, dia ludahkan ke samping. "Melahirkan perlu pengalaman. Dan pengalaman yang paling baik adalah keturunan. Bukan segepok buku tak bernyawa!" katanya seraya berlalu meninggalkan kerumunan warga yang melihatnya dengan takjub.
Bidan Yunda menghembuskan napasnya perlahan. Dia sudah menduga akan begini. Padahal tadi pagi sebelum ke balai desa, dia dan petugas desa lainnya sudah bertandang ke rumah Mak Jujum dengan baik. Namun apa mau dikata, Mak Jujum menolak segala bentuk tawaran kerja sama. Menurutnya, melahirkan adalah hal sakral yang harus dilakukan oleh sepuh, bukan bidan muda dan cantik pula.
Bidan Yunda melayangkan pandangannya kepada warga-warga yang masih asik menatap kepergian Mak Jujum. Dalam hati, Bidan Yunda meragukan keteguhan hatinya untuk menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi di desa ini. Dia merasa telah ditolak mentah-mentah.
Pak Kades menepuk bahunya dan menenangkan Bidan cantik itu dengan senyumannya. "Pelan-pelan," katanya. "Nanti akan membuat mereka terbiasa."
Bidan Yunda menganggukan kepalanya. Dia menatap wajah-wajah di bawahnya. Dengan mantap dia melanjutkan pidatonya.
"Saya peduli kepada anda semua. Saya peduli dengan ibu sekalian juga calon bayi yang ibu kandung. Saya peduli pada Belitong. Saya akan berusaha menyelamatkan ibu dan bayi. Oleh karena itu, saya mohon dukungannya." katanya mengakhiri pidato singkatnya.
Warga bertepuk tangan. Entah karena terkesan akan pidato Bidan Yunda atau hanya sekedar tradisi untuk bertepuk tangan setelah orang berpidato.
*
"Apa kataku, Mak Jujum juga tak setuju!" Kata Bima.
Anak-anak itu kembali bergerombol di bawah rimbunnya rumpun bambu.
"Apa yang membuat bapakmu berpikir kalau Bidan itu berbahaya, Bim?" tanya Fadil.
"Bapakku kan dari Jawa. Sudah pasti tahu segalanya tentang Bidan. Kata Bapakku, Bidan di sana itu suka bekerja sekehendak hati. Dan mahal pula!" katanya.
"Mahal? Seberapa mahal?" tanya Erin.
"Pokoknya mahal." kata Bima.
"Jadi bahaya bidan itu hanya karena dia mahal atau bagaimana?" Numa yang sejak tadi diam ikut angkat suara.
"Jangan tanya aku. Tanya bapakku." kata Bima gemetaran. Dipandang dengan begitu sinis oleh Numa, gadis pemimpin gerombolan kecil itu, membuat nyali Bima ciut.
"Pegang kata-kataku, kalau dia bisa menyelamatkan ibu dan calon adikku, maka tak perlu lagi kalian meragukan kemampuannya!" kata Numa, menatap satu persatu mata teman-temannya. Fadil menelan ludah.
"Aku yakin ibumu pasti selamat, Num. Ibumu orang yang kuat!" kata Datma.
"Aku sudah 12 tahun dan aku tahu arti kata tua, Ma. Aku takut kehilangan Ibuku. Sudah cukup parah aku ditinggal mati Bapakku." kata Numa. Matanya melayang ke masa enam bulan silam saat bapaknya masih ada. Setitik air mata jatuh ke atas daun-daun bambu kering yang berjatuhan. Numa menarik napas dan mulai bangkit berdiri.
"Aku pulang dulu, ya! Nanti malam kita kumpul di dipan rumahku." katanya seraya meninggalkan gerombolan kecil itu dengan wajah sedih.

Malam datang dengan cepat. Rasanya baru tadi Numa tidur sambil memeluk Ibunya. Sekarang adzan magrib sudah berkumandang. Dengan sigap Numa bangkit dan memapah Ibunya untuk mengambil air wudhu.
Dinginnya air meresap melalui pori-pori kulit. Numa menggelar sajadah dan mengenakan mukena. Siap untuk shalat berjamaah bersama Ibunya sebagai imam.

"Assalar2mualaikum, Numa!" panggil beberapa suara. Numa, yang telah selesai shalat, membuka pintu dan mendapati gerombolan kecilnya sudah datang sambil membawa sarung.
"Tunggu sebentar, ya! Langsung naik dipan saja." kata Numa lalu dia pergi menghampiri Ibunya.
"Bu, aku di luar sama teman-teman. Kalau ada perlu tinggal panggil saja." Numa mencium kening Ibunya. Sambil membawa kain sarung lusuh milik ibunya, Numa pergi ke luar rumah.
Di atas dipan gerombolan kecil itu telah duduk melingkar dengan rapi dan sarung mengerubungi tubuh kecil mereka. Numa ikut mengerubungi tubuhnya agar terhindar dari gigitan nyamuk lalu duduk di antara Fadil dan Erin.
"Sekarang, apa yang akan kita bahas?" tanya Bima.
"Aku ingin diam saja. Duduk-duduk begini. Aku malas." ucap Numa. Matanya menerawang masa lalu.
"Dia kenapa?" bisik Bima kepada Datma yang menggelengkan kepalanya.
Tiga puluh menit mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing, kecuali Datma yang sibuk menepuki nyamuk.
Tiba-tiba terdengar rintihan lalu sebuah suara menyebut nama Numa. Secepat kilat Numa meloncat dari dipan dan mendatangi ibunya. Dilihatnya sang ibu merintih kesakitan. Wajah Numa pucat pasi.
"Ibu akan melahirkan?" tanya Numa. "Aku...aku...tolong! Fadil, Bima, Erin, Datma! Tolong aku!" jerit Numa.
Atas perintah Numa, secepat kijang, anak-anak itu pergi meminta bantuan warga. Mak Jujum datang paling awal. Dengan gayanya sebagai dukun profesional, Mak Jujum menyiapkan peralatan sederhana untuk membantu persalinan.
Numa, dengan wajah pucatnya, tak bisa diam dengan tenang. Bu Ratna, isteri Pak Kades, mengelus-elus pundaknya. Sementara gerombolan kecilnya ikut-ikutan duduk dengan hati berkecamuk.
"Tarik napaaaaas!" perintah Mak Jujum. Erangan Ibu Numa semakin jelas terdengar.
"Sakit, Mak!" jerit Ibu Numa.
"Bisa! Ayo, berusaha! Ngeden!" titah Mak Jujum lagi.
"Sudah tak bisa, Mak. Sudah..." Ibu numa melemas. Mak Jujum jadi panik.
"Jangan! Jangan! Ayo berusaha!" teriak Mak Jujum, sementara itu darah Ibu Numa sudah banyak keluar. Mak Jujum komat-kamit, berharap salah satu manteranya bisa menyelamatkan Ibu Numa.
Di luar rumah, tubuh Numa menggigil berat, menahan setiap getar tubuhnya, menahan setiap bendungan air matanya. Numa semakin memucat hingga akhirnya dia menoleh pada gerombolan kecilnya. "Kemana bidan itu?" tanyanya lemas. Gerombolan kecil itu saling pandang. Lalu secara takut-takut Bima bicara. "Aku...aku...aku lupa memanggilnya."
"Panggil dia. Kumohon." ucap Numa semakin lemah. Bima, yang merasa sangat bersalah, berlari memanggil Bidan Yunda.
Sepuluh menit kemudian Bidan Yunda datang dengan tas perlengkapannya. Tangannya sudah menggunakan sarung tangan. Tepat dengan kedatangan Bidan Yunda, Mak Jujum keluar dengan peluh bercucuran.
"Bantu aku!" ucapnya kepada Bidan Yunda. "Marti sudah tak bisa ngeden. Bantu aku!" Mak Jujum meratap.
Bidan Yunda masuk dengan gesit. Pintu ditutup kembali. Numa hampir jatuh terduduk. Dalam hati, tak pernah dia berhenti berdoa. Bu Ratna semakin memeluknya dengan erat.
"Tenang...tarik napas...pelan-pelan saja, Bu..." samar-samar terdengar suara Bidan Yunda. Terdengar pula rintihan Ibu Numa yang mulai melemah.
Lima menit kemudian pecahlah tangisan bayi. Tangisan Numa juga pecah. Setiap tetesnya menggambarkan rasa syukur. Jika saja tubuhnya tak dipeluk erat oleh Bu Ratna, Numa pasti sudah jatuh berlutut.
"Alhamdulillah." bisiknya lirih.
Mak Jujum membuka pintu dan mengangguk kepada Bu Ratna yang kemudian memapah Numa untuk masuk ke dalam. Mata Numa langsung menangkap Ibunya yang tengah terbaring lemah dan matanya menutup.
"Bu..." panggil Numa. Ibunya tak menjawab.
"Bu..." panggilnya lagi. Masih tak ada jawaban. Bu Ratna mengajaknya untuk mendekat.
"Bu..." panggil Numa untuk yang ketiga kalinya. Masih tak ada jawaban. Tangis Numa menderas.
"Ibu kamu sedang tidur, Cantik. Dia sudah berjuang sekuat tenaga. Biarkan dia istirahat dulu." kata Bidan Yunda. Dengan refleks Numa memeluk bidan cantik itu. Numa tak mengatakan apa-apa, namun air mata dan senyumnya yang mengembang sudah cukup untuk memberitahu Bidan Yunda bahwa dia sangat berterimakasih.

"Masih ngotot bela Bapakmu, Bim?" sindir Erin esok harinya, masih tetap di bawah rimbunan rumpun bambu. Bima menundukan kepalanya, malu.
"Sudah baik tak aku adukan omonganmu waktu itu. Kau lihat sendiri kan betapa baiknya Bidan Yunda! Mak Jujum saja menyerah, untung Bidan Yunda datang! Tak menuntut bayaran pula." kata Datma. Bima mengangguk.
"Hebat nian dia. Sudah cantik, sakti pula!" kata Fadil.
Numa tak ikut bicara. Dia hanya memerhatikan teman-temannya dengan senyum tulusnya. Lalu secara perlahan matanya menerawang ke cakrawala dalam hati dia berucap, 'Terima kasih. Terima kasih banyak, Tuhan, sudah mengirimkan Bidan yang Sakti ke desaku,' dilihatnya wajah teman-teman seperjuangannya, lalu dalam bisiknya dia menambahkan, 'Terima kasih juga atas segala karunia yang Engkau berikan.' Numa tersenyum, kali ini senyumnya benar-benar cantik.

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

anita agustina. Diberdayakan oleh Blogger.